Tuesday, 10 February 2015

Penari

Ini bukan cerpen baru. Cerpen ini saya tulis tahun 2005. Wow banget yaah. Sepuluh tahun yang lalu. Waktu masih seneng-senengnya nulis, masih seneng-senengnya ngumpul sama penulis, masih semangat-semangatnya sharing soal dunia menulis dengan mentor hebat saya, Om Yusrizal KW dan Kak Maya Lestari GF yang selalu menyemangati. Tapi apa daya, bakat tinggallah bakat, semangat memudar dan lama kelamaan hanya tinggal keinginan tanpa usaha. Maafkan ika ya Om KW, udah disupport tapi malah patah semangat. Hehe.. curcol lagi. Saya akan posting cerpen lama saya satu persatu mulai hari ini. Dan mudah-mudahan berlanjut dengan cerpen baru nantinya. Amiiin.

Cerpen ini diberi judul PENARI karena dulunya saya suka dunia menari dan pernah mengenal beberapa pelatih tari yang sedikit banyak menginspirasi saya. Beberapa bagian cerita dalam cerpen inipun ada yang merupakan cerita nyata. 

Cerpen ini pernah menjadi juara 3 Lomba Cerpen Remaja Tingkat Sumatera Barat yang diadakan oleh Harian Umum Singgalang dan dimuat di halaman Cerpen Remaja Harian Umum Singgalang Minggu tahun 2007.


Selamat membaca :)


PENARI


“Lo lama banget sih!” bentak Selly di telepon.
“Sepuluh menit lagi. Beneran, sepuluh menit lagi gue nyampe,” suara Neyna di seberang sana.
“Awas lo ya, kalau telat lagi.” Selly keki banget kalau janjian sama yang satu ini. Gimana enggak, sepuluh menit menurut Neyna itu bisa jadi dua puluh menit bahkan lebih.
Selly meletakkan gagang telepon. Tak sengaja matanya tertuju pada tumpukan album foto lamanya. Kalau dihitung mungkin mencapai dua puluhan. Karena dari kecil Selly memang suka banget difoto. Apalagi dulu dia sering ikutan lomba nari. Jadi, tiap ikutan lomba pasti selalu ada kamera yang siap menjepretnya dengan berbagai pose.
Selly mengambil sebuah album. Ia membuka album itu. Selly membalik helai demi helai. Ia jadi merindukan momen ini, lomba menari yang memperebutkan trophy Walikota. Sebelas tahun yang lalu. Neyna belum juga memperlihatkan batang hidungnya. Selly mengambil album lainnya. Disitu tampak foto seorang gadis kecil yang mengenakan pakaian adat Sumatera Barat. Dialah Selly kecil yang akan mengikuti lomba tari daerah. Sunting di kepalanya membuat wajahnya tampak semakin imut.
Kenapa Neyna lama sekali? Sudah dua puluh menit berlalu. Selly mengangkat gagang telepon dan memencet nomor handphone Neyna.
“Hallo, Sel. Gue baru aja mau nelpon lo.”
“Nggak penting. Lo dimana sekarang?” Selly sewot.
“Sorry, ban mobil gue kempes. Gue lagi di bengkel. Lo tunggu aja sebentar. Udah hampir selesai kok.”
“Iya, lo suruh aja gue nunggu sampe ubanan.”
“Sorry banget, Sel. Ini beneran kok. Sorry.”
“Ya udah. Cepetan.” Selly menutup telepon. Dasar suka ngaret. Ada aja yang bikin dia telat. Selly menggerutu dalam hati. Selly berusaha menyabarkan diri. Ia meraih album foto berwarna biru muda dengan gambar Tazmania. Ini adalah album kesayangannya. Selain karena emang suka Tazmania, album ini merupakan oleh-oleh Ratih, ketika liburan ke Singapur. Sayang, sekarang Selly nggak bisa lagi ketemu Ratih, sobatnya semasa SMP itu. Ratih meninggal tepat tiga hari setelah memberikan album ini karena kanker otak.
Tangan Selly segera menghapus butiran bening di pipinya. Sebuah foto membuat Selly terpaku. Dua remaja perempuan dan satu laki-laki. Perempuan yang satu sudah pasti Selly. Di sampingnya, gadis sebaya Selly, mengenakan tank top ungu dengan bawahan rok selutut. Dialah Ratih. Sedangkan yang laki-laki adalah Deri, sobat sekaligus rival Selly di setiap lomba menari yang diikutinya. Tapi Selly tak tau dimana Deri saat ini.
Tiba-tiba sebuah amplop bergambar Tazmania jatuh dari album. Surat yang diselipkan Selly di album itu dibukanya lagi untuk kedua kalinya.
My best pren,
Sebelumnya gue minta maaf karena gue nggak pernah ngasih tau lo berdua kalau gue terkena kanker otak. Gue ke Singapur bukan buat liburan, tapi terapi. Waktu lo berdua baca surat ini, mungkin gue udah nggak ada.
Gue punya satu permintaan. Gue mau lo berdua tetap sobatan walau gue udah nggak ada. Walau bersaing di panggung, sobat tetap nomor satu. Pren is pren. Rival is rival. Itu dua hal yang harus dipisahin. Gue yakin lo berdua pasti bisa. Cayo!! Satu lagi, lo berdua harus bisa masuk SMA favorit yang jadi impian kita.
Setelah melipat surat ini, lo berdua harus tersenyum buat gue. Gue sayang lo berdua.
Selly melipat surat itu. “Ini nggak ada artinya lagi, Tih. Deri menghilang entah kemana. Dia egois. Nggak pernah ngabarin gue dia dimana,” Selly bicara sendiri sambil memandangi foto Ratih.
***

Malam tahun baru, dua tahun setelah meninggalnya Ratih…

“Udah siap belum, Sel?” sorak Deri dari halaman.
“Udah.” Selly keluar dengan kaos ketat plus celana jeans pendek. Sebuah jaket terikat di pinggangnya. Setelah pamitan sama orang tua Selly, mobil Deri melaju kencang.
“De, sebentar lagi kita lulus SMA. Lo mau ngelanjutin kemana?” tanya Selly.
“Belum tau, Sel. Gue sih pengennya masuk sekolah seni. Gue mau jadi dancer professional.”
“Wah, sama donk. Gue pengen jadi dancer yang hebat. Terkenal. Kalo bisa go internasional. Lo tau kan, itu impian gue dari kecil.”
“Gue yakin lo bisa,” ujar Deri.
“Gue juga yakin lo bisa. Tapi….” Selly menggantung kalimatnya.
“Tapi apa, Sel?”
“Gue takut lo….”
“Bakal ninggalin lo?” potong Deri.
“Bukan. Kalo itu sih gue yakin lo sobat yang bisa diandalkan. Nggak bakalan ninggalin gue.”
“Trus?” tanya Deri penasaran.
“Lo kan tau, kebanyakan penari cowok yang kita kenal….”
“Hahaha…. Gue tau maksud lo. Lo tenang aja. Gue nggak bakalan seperti mereka,” Deri tertawa lebar.
“Lo jangan terlalu dekat sama mereka.”
“Lo tenang aja.” Selly tersenyum. Deri mengacak- acak rambut Selly.
Tanpa mereka sadari, sebuah trailer melaju kencang ke arah mereka. Deri kaget dan berusaha banting stir. Tapi malang tak dapat dielakkan. “Braaak.” Sebuah benturan hebat terjadi.
Selly membuka mata.
“Kamu sudah sadar, Nak?” tanya Mama Selly.
“Selly dimana, Ma?”
“Kamu di Rumah Sakit.”
“Deri….”
“Kamu tenang aja. Deri nggak apa-apa.”
Tiba-tiba pintu terbuka. Seorang cowok dengan perban di kepala, tangan, dan kakinya melangkah masuk. Dia duduk di bangku yang tersedia. Tepat di sebelah tempat tidur Selly.
“Maafin gue, Sel.”
“Ini bukan salah lo, De. Nggak ada yang salah.”
“Gue udah bikin….”
“Udahlah, nggak usah dibahas. Lo liat kan, gue nggak kenapa-napa?”
“Tapi gue….”
“Ini bukan salah lo. Ini takdir kita.”
“Tapi gue udah bikin lo gagal meraih impian lo. Gue emang nggak berguna. Maki aja gue, Sel.” Deri menyalahkan dirinya atas kejadian yang menimpa mereka.
“Nggak usah hiperbolis gitu. Gue masih bisa meraih impian itu. Gue cuma perlu istirahat beberapa bulan, abis itu gue bisa nari lagi.”
“Tapi, Sel….”
“Ma, kaki kanan Selly gatal,” Selly melirik mamanya. Mama Selly langsung mengusap-usap kaki anaknya. “Mungkin pengaruh obat,” katanya.
“Bukan disitu, Ma. Ke bawah dikit.” Tapi tangan Mama Selly tetap saja disitu, tak berpindah.
“Ma, bantuin Selly duduk,” pintanya lagi. Mama Selly tetap tak bergeming. “Ma, Selly mau duduk,” soraknya lagi.
“Kamu belum boleh duduk, Sayang.”
“Selly kuat kok.”
“Nggak boleh.”
“Mama kenapa sih? Selly udah kuat, Ma. Selly nggak mau terus-terusan begini. Selly mau duduk.” Selly ngotot. Akhirnya Mama Selly mengalah juga. Selly tampak senang. Ia menarik selimutnya. Dia penasaran, apa yang membuat kakinya gatal. Perbankah? Seberapa tebal? Mata Selly tak lepas dari ujung kaki itu, “Ma, Selly… Selly….” Air matanya mengucur deras. Deri merasa sangat bersalah.
“De, gue….” Selly melirik Deri.
“Maafin gue, Sel. Ini salah gue. Gue bodoh, nggak berguna.” Deri berdiri dan segera keluar. Sebelum membuka pintu, dia menoleh ke belakang, “Maafin gue, Sel.” Deri menghilang di balik dinding putih itu. Sejak hari itu, Selly tak pernah melihat Deri lagi. Neyna yang dirawat di sebelah Selly, muncul pada saat yang tepat menawarkan persahabatan.
***
Selly menarik celana panjangnya keatas. Matanya memandangi kaki palsu yang melekat. Air matanya mengucur tak henti.
“Sel, lo kenapa?” Neyna masuk tanpa mengetuk pintu. Perhatiannya tak lepas dari Selly yang menangis.
“Lo kenapa, Sel?” tanya Neyna cemas.
“Nggak apa-apa.” Selly menurunkan kaki celananya dan segera menghapus butiran bening di pipinya.
“Tapi, kenapa lo nangis?”
“Udah, gue nggak kenapa-napa kok. Yuk, berangkat.” Selly menarik tangan Neyna.
Mal yang mereka datangi tampak ramai. Maklum, ini kan hari libur. Banyak ABG yang hanya sekedar nongkrong menghilangkan suntuk. Selly bejalan dengan santai. Tak tampak sedikitpun kalau ia memakai kaki palsu. Begitulah kecanggihan teknologi.
“Sel, kita makan dulu ya? Laper nih,” Neyna memelas.
“Iya deh.”
Waroeng Q_Ta, tempat makan favorit mereka tak kalah ramai. Tempat ini selalu dipenuhi anak muda. Ada yang memang lapar, dan tak jarang mereka yang kesitu hanya ingin cuci mata, sekedar melirik lawan jenis.
Hanya dengan memesan segelas minuman, siapa saja bisa puas duduk berlama-lama disini. Pelayanannya oke punya. Itulah yang membuat anak-anak muda betah.
“Hey, disindang aja.”
“Oke, tuh. Akika bisa bebas liat cowok-cowok.”
“Iya, bener juga,” sahut yang lain. Serombongan manusia setengah perempuan itu duduk di meja belakang Selly.
“Pesen apa niy?” salah seorang dari mereka bertanya.
“Apa ya?” tanya yang memakai jepit rambut merah bingung.
“Akika juga bingung nih,” jawab yang satunya lagi. Tak ketinggalan dengan jari tangan yang melentik-lentik.
“Akika mau milk shake strawberry aja deh.”
“Lo liat deh. Mereka lucu-lucu,” Neyna setengah berbisik. Ia tersenyum sendiri. Selly penasaran juga pengen liat mereka. Selly membalikkan tubuh hingga matanya tepat menatap para banci itu.
Salah seorang dari rombongan itu mengenakan kaos ketat warna oren dengan gambar Tazmania. Jelas saja langsung menarik perhatian Selly. Apapun yang berbau Tazmania tak kan terlewatkan oleh Selly. Mata Selly beralih ke rambut Banci Oren itu. Oren, sama seperti warna bajunya. Selly beralih ke wajahnya. Hidung bangir itu. Ternyata teman si Banci Oren juga memperhatikan Selly. Kakinya menyenggol kaki si Banci Oren.
“Apaan sih?” tanyanya.
“Ada yang merhatiin tuh,” mulutnya monyong ke arah Selly. Mata si Banci Oren mengikuti mulut itu. Matanya beradu pandang dengan mata Selly. Keduanya sama-sama kaget.
“Deri?” Selly seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Si Banci Oren yang ternyata Deri itu diam tak berkutik. Dengan segenap kekuatan yang dimilikinya Selly berdiri. Tapi tiba-tiba matanya berkunang-kunang. Akhirnya Selly ambruk tak sadarkan diri.

Padang, 20 November 2005

No comments: