Ini bukan cerpen baru. Cerpen ini saya tulis tahun 2005. Wow banget yaah. Sepuluh tahun yang lalu. Waktu masih seneng-senengnya nulis, masih seneng-senengnya ngumpul sama penulis, masih semangat-semangatnya sharing soal dunia menulis dengan mentor hebat saya, Om Yusrizal KW dan Kak Maya Lestari GF yang selalu menyemangati. Tapi apa daya, bakat tinggallah bakat, semangat memudar dan lama kelamaan hanya tinggal keinginan tanpa usaha. Maafkan ika ya Om KW, udah disupport tapi malah patah semangat. Hehe.. curcol lagi. Saya akan posting cerpen lama saya satu persatu mulai hari ini. Dan mudah-mudahan berlanjut dengan cerpen baru nantinya. Amiiin.
Cerpen ini diberi judul PENARI karena dulunya saya suka dunia menari dan pernah mengenal beberapa pelatih tari yang sedikit banyak menginspirasi saya. Beberapa bagian cerita dalam cerpen inipun ada yang merupakan cerita nyata.
Cerpen ini pernah menjadi juara 3 Lomba Cerpen Remaja Tingkat Sumatera Barat yang diadakan oleh Harian Umum Singgalang dan dimuat di halaman Cerpen Remaja Harian Umum Singgalang Minggu tahun 2007.
Selamat membaca :)
PENARI
“Lo lama banget sih!” bentak Selly di telepon.
“Sepuluh menit lagi. Beneran, sepuluh menit lagi gue
nyampe,” suara Neyna di seberang sana.
“Awas lo ya, kalau telat lagi.” Selly keki banget kalau
janjian sama yang satu ini. Gimana enggak, sepuluh menit menurut Neyna itu bisa
jadi dua puluh menit bahkan lebih.
Selly meletakkan gagang telepon. Tak sengaja matanya
tertuju pada tumpukan album foto lamanya. Kalau dihitung mungkin mencapai dua
puluhan. Karena dari kecil Selly memang suka banget difoto. Apalagi dulu dia
sering ikutan lomba nari. Jadi, tiap ikutan lomba pasti selalu ada kamera yang
siap menjepretnya dengan berbagai pose.
Selly mengambil sebuah album. Ia membuka album itu.
Selly membalik helai demi helai. Ia jadi merindukan momen ini, lomba menari
yang memperebutkan trophy Walikota. Sebelas tahun yang lalu. Neyna belum juga
memperlihatkan batang hidungnya. Selly mengambil album lainnya. Disitu tampak
foto seorang gadis kecil yang mengenakan pakaian adat Sumatera Barat. Dialah
Selly kecil yang akan mengikuti lomba tari daerah. Sunting di kepalanya membuat
wajahnya tampak semakin imut.
Kenapa Neyna lama sekali? Sudah dua puluh menit berlalu.
Selly mengangkat gagang telepon dan memencet nomor handphone Neyna.
“Hallo, Sel. Gue baru aja mau nelpon lo.”
“Nggak penting. Lo dimana sekarang?” Selly sewot.
“Sorry, ban mobil gue kempes. Gue lagi di bengkel. Lo
tunggu aja sebentar. Udah hampir selesai kok.”
“Iya, lo suruh aja gue nunggu sampe ubanan.”
“Sorry banget, Sel. Ini beneran kok. Sorry.”
“Ya udah. Cepetan.” Selly menutup telepon. Dasar suka
ngaret. Ada aja yang bikin dia telat. Selly menggerutu dalam hati. Selly
berusaha menyabarkan diri. Ia meraih album foto berwarna biru muda dengan
gambar Tazmania. Ini adalah album kesayangannya. Selain karena emang suka
Tazmania, album ini merupakan oleh-oleh Ratih, ketika liburan ke Singapur.
Sayang, sekarang Selly nggak bisa lagi ketemu Ratih, sobatnya semasa SMP itu.
Ratih meninggal tepat tiga hari setelah memberikan album ini karena kanker
otak.
Tangan Selly segera menghapus butiran bening di pipinya.
Sebuah foto membuat Selly terpaku. Dua remaja perempuan dan satu laki-laki.
Perempuan yang satu sudah pasti Selly. Di sampingnya, gadis sebaya Selly,
mengenakan tank top ungu dengan bawahan rok selutut. Dialah Ratih. Sedangkan
yang laki-laki adalah Deri, sobat sekaligus rival Selly di setiap lomba menari
yang diikutinya. Tapi Selly tak tau dimana Deri saat ini.
Tiba-tiba sebuah amplop bergambar Tazmania jatuh dari
album. Surat yang diselipkan Selly di album itu dibukanya lagi untuk kedua
kalinya.
My best pren,
Sebelumnya gue minta maaf karena gue nggak pernah ngasih tau lo
berdua kalau gue terkena kanker otak. Gue ke Singapur bukan buat liburan, tapi
terapi. Waktu lo berdua baca surat ini, mungkin gue udah nggak ada.
Gue punya satu permintaan. Gue mau lo berdua tetap sobatan walau gue
udah nggak ada. Walau bersaing di panggung, sobat tetap nomor satu. Pren is
pren. Rival is rival. Itu dua hal yang harus dipisahin. Gue yakin lo berdua
pasti bisa. Cayo!! Satu lagi, lo berdua harus bisa masuk SMA favorit yang jadi
impian kita.
Setelah melipat surat ini, lo berdua harus tersenyum buat gue. Gue
sayang lo berdua.
Selly melipat surat itu. “Ini nggak ada artinya lagi,
Tih. Deri menghilang entah kemana. Dia egois. Nggak pernah ngabarin gue dia
dimana,” Selly bicara sendiri sambil memandangi foto Ratih.
***
Malam tahun baru, dua tahun setelah meninggalnya Ratih…
“Udah siap belum, Sel?” sorak Deri dari halaman.
“Udah.” Selly keluar dengan kaos ketat plus celana jeans
pendek. Sebuah jaket terikat di pinggangnya. Setelah pamitan sama orang tua
Selly, mobil Deri melaju kencang.
“De, sebentar lagi kita lulus SMA. Lo mau ngelanjutin
kemana?” tanya Selly.
“Belum tau, Sel. Gue sih pengennya masuk sekolah seni.
Gue mau jadi dancer professional.”
“Wah, sama donk. Gue pengen jadi dancer yang hebat.
Terkenal. Kalo bisa go internasional. Lo tau kan, itu impian gue dari kecil.”
“Gue yakin lo bisa,” ujar Deri.
“Gue juga yakin lo bisa. Tapi….” Selly menggantung
kalimatnya.
“Tapi apa, Sel?”
“Gue takut lo….”
“Bakal ninggalin lo?” potong Deri.
“Bukan. Kalo itu sih gue yakin lo sobat yang bisa
diandalkan. Nggak bakalan ninggalin gue.”
“Trus?” tanya Deri penasaran.
“Lo kan tau, kebanyakan penari cowok yang kita kenal….”
“Hahaha…. Gue tau maksud lo. Lo tenang aja. Gue nggak
bakalan seperti mereka,” Deri tertawa lebar.
“Lo jangan terlalu dekat sama mereka.”
“Lo tenang aja.” Selly tersenyum. Deri mengacak- acak rambut
Selly.
Tanpa mereka sadari, sebuah trailer melaju kencang ke
arah mereka. Deri kaget dan berusaha banting stir. Tapi malang tak dapat
dielakkan. “Braaak.” Sebuah benturan hebat terjadi.
Selly membuka mata.
“Kamu sudah sadar, Nak?” tanya Mama Selly.
“Selly dimana, Ma?”
“Kamu di Rumah Sakit.”
“Deri….”
“Kamu tenang aja. Deri nggak apa-apa.”
Tiba-tiba pintu terbuka. Seorang cowok dengan perban di
kepala, tangan, dan kakinya melangkah masuk. Dia duduk di bangku yang tersedia.
Tepat di sebelah tempat tidur Selly.
“Maafin gue, Sel.”
“Ini bukan salah lo, De. Nggak ada yang salah.”
“Gue udah bikin….”
“Udahlah, nggak usah dibahas. Lo liat kan, gue nggak
kenapa-napa?”
“Tapi gue….”
“Ini bukan salah lo. Ini takdir kita.”
“Tapi gue udah bikin lo gagal meraih impian lo. Gue
emang nggak berguna. Maki aja gue, Sel.” Deri menyalahkan dirinya atas kejadian
yang menimpa mereka.
“Nggak usah hiperbolis gitu. Gue masih bisa meraih
impian itu. Gue cuma perlu istirahat beberapa bulan, abis itu gue bisa nari
lagi.”
“Tapi, Sel….”
“Ma, kaki kanan Selly gatal,” Selly melirik mamanya.
Mama Selly langsung mengusap-usap kaki anaknya. “Mungkin pengaruh obat,”
katanya.
“Bukan disitu, Ma. Ke bawah dikit.” Tapi tangan Mama
Selly tetap saja disitu, tak berpindah.
“Ma, bantuin Selly duduk,” pintanya lagi. Mama Selly
tetap tak bergeming. “Ma, Selly mau duduk,” soraknya lagi.
“Kamu belum boleh duduk, Sayang.”
“Selly kuat kok.”
“Nggak boleh.”
“Mama kenapa sih? Selly udah kuat, Ma. Selly nggak mau
terus-terusan begini. Selly mau duduk.” Selly ngotot. Akhirnya Mama Selly
mengalah juga. Selly tampak senang. Ia menarik selimutnya. Dia penasaran, apa
yang membuat kakinya gatal. Perbankah? Seberapa tebal? Mata Selly tak lepas
dari ujung kaki itu, “Ma, Selly… Selly….” Air matanya mengucur deras. Deri
merasa sangat bersalah.
“De, gue….” Selly melirik Deri.
“Maafin gue, Sel. Ini salah gue. Gue bodoh, nggak
berguna.” Deri berdiri dan segera keluar. Sebelum membuka pintu, dia menoleh ke
belakang, “Maafin gue, Sel.” Deri menghilang di balik dinding putih itu. Sejak
hari itu, Selly tak pernah melihat Deri lagi. Neyna yang dirawat di sebelah
Selly, muncul pada saat yang tepat menawarkan persahabatan.
***
Selly menarik celana panjangnya keatas. Matanya
memandangi kaki palsu yang melekat. Air matanya mengucur tak henti.
“Sel, lo kenapa?” Neyna masuk tanpa mengetuk pintu.
Perhatiannya tak lepas dari Selly yang menangis.
“Lo kenapa, Sel?” tanya Neyna cemas.
“Nggak apa-apa.” Selly menurunkan kaki celananya dan
segera menghapus butiran bening di pipinya.
“Tapi, kenapa lo nangis?”
“Udah, gue nggak kenapa-napa kok. Yuk, berangkat.” Selly
menarik tangan Neyna.
Mal yang mereka datangi tampak ramai. Maklum, ini kan
hari libur. Banyak ABG yang hanya sekedar nongkrong menghilangkan suntuk. Selly
bejalan dengan santai. Tak tampak sedikitpun kalau ia memakai kaki palsu.
Begitulah kecanggihan teknologi.
“Sel, kita makan dulu ya? Laper nih,” Neyna memelas.
“Iya deh.”
Waroeng Q_Ta, tempat makan favorit mereka tak kalah
ramai. Tempat ini selalu dipenuhi anak muda. Ada yang memang lapar, dan tak
jarang mereka yang kesitu hanya ingin cuci mata, sekedar melirik lawan jenis.
Hanya dengan memesan segelas minuman, siapa saja bisa
puas duduk berlama-lama disini. Pelayanannya oke punya. Itulah yang membuat
anak-anak muda betah.
“Hey, disindang aja.”
“Oke, tuh. Akika bisa bebas liat cowok-cowok.”
“Iya, bener juga,” sahut yang lain. Serombongan manusia
setengah perempuan itu duduk di meja belakang Selly.
“Pesen apa niy?” salah seorang dari mereka bertanya.
“Apa ya?” tanya yang memakai jepit rambut merah bingung.
“Akika juga bingung nih,” jawab yang satunya lagi. Tak
ketinggalan dengan jari tangan yang melentik-lentik.
“Akika mau milk shake strawberry aja deh.”
“Lo liat deh. Mereka lucu-lucu,” Neyna setengah
berbisik. Ia tersenyum sendiri. Selly penasaran juga pengen liat mereka. Selly
membalikkan tubuh hingga matanya tepat menatap para banci itu.
Salah seorang dari rombongan itu mengenakan kaos ketat
warna oren dengan gambar Tazmania. Jelas saja langsung menarik perhatian Selly.
Apapun yang berbau Tazmania tak kan terlewatkan oleh Selly. Mata Selly beralih
ke rambut Banci Oren itu. Oren, sama seperti warna bajunya. Selly beralih ke
wajahnya. Hidung bangir itu. Ternyata teman si Banci Oren juga memperhatikan
Selly. Kakinya menyenggol kaki si Banci Oren.
“Apaan sih?” tanyanya.
“Ada yang merhatiin tuh,” mulutnya monyong ke arah
Selly. Mata si Banci Oren mengikuti mulut itu. Matanya beradu pandang dengan
mata Selly. Keduanya sama-sama kaget.
“Deri?” Selly seolah tak percaya dengan apa yang
dilihatnya. Si Banci Oren yang ternyata Deri itu diam tak berkutik. Dengan
segenap kekuatan yang dimilikinya Selly berdiri. Tapi tiba-tiba matanya
berkunang-kunang. Akhirnya Selly ambruk tak sadarkan diri.
Padang, 20 November 2005
No comments:
Post a Comment