Wednesday, 11 February 2015

Ayahku Pembunuh

Lingkungan sekitar memang sering memunculkan ide yang kadang tak terpikirkan sebelumnya. Ide cerpen lama ini juga muncul dari kejadian di lingkungan sekitar saya beberapa tahun silam. Hanya dituangkan dan dimodifikasi menjadi sebuah cerita, jadi gak sepenuhnya cerita aslinya seperti ini.



AYAHKU PEMBUNUH

Kuperhatikan orang-orang berseliweran lalu-lalang di depan rumah. Pakaian mereka, layaknya pakaian melayat ke rumah duka, lengkap dengan kampia, yang biasa dipakai untuk menaruh beras waktu melayat. Wajah-wajah itu tampak sendu. Entah karena sedih ditinggalkan oleh orang yang meninggal, atau karena iba dan prihatin pada keluarga yang ditinggalkan.
Sedikit sorot ke rumah duka, mereka merupakan keluarga yang bisa dibilang miskin. Pak Man, kepala keluarga, bekerja sebagai tukang sapu di balai, sebutan untuk pasar kecil di daerahku. Sore hari, ia mengangkati sampah-sampah di sekitar komplek untuk mencari tambahan pemasukan. Istrinya, biasa mengupas bawang di pasar. Untuk satu kilo bawang, ia hanya dapat 500 perak.
Hari ini, anak mereka yang ke tiga, meninggal dunia. Demam tinggi yang menyerangnya beberapa hari belakangan berhasil menjadi penyebab. Selain itu, ia juga dikategorikan balita kurang gizi. Saat panas badannya meninggi, disentri juga menyerangnya. Karena tidak ada biaya untuk ke dokter, ia dibiarkan terbaring di rumah yang tak bisa dibilang bersih dan bebas kuman. Tapi itulah takdir. Tak ada yang mampu menghalangi. Ia meninggal sebelum sempat ditolong oleh apa dan siapapun.
Beberapa hari sebelumnya, tetangga Pak Man juga ditinggalkan anak mereka yang berusia 3 tahun karena demam berdarah. Ia juga belum tersentuh oleh tangan dokter. Alasannya pun sama, tidak punya uang untuk biaya berobat. Aku tau cerita ini dari Mak Sani yang sudah 15 tahun bekerja di rumah kami.
“Apa Papa dan Mama tau?” tanyaku pada Mak Sani. Ia mengangguk, “Waktu anak Pak Man sakit, saya minta izin untuk membezuknya. Tapi Bapak dan Ibu bilang, mereka tidak perlu dijenguk. Salah mereka sendiri tidak memikirkan kesejahteraan anak mereka.”
“Papa bilang begitu?”
“Maaf, Non. Bukan maksud saya…”
“Iya, Mak. Saya ngerti.” Aku maklum akan jawaban papa yang sering acuh terhadap sekitarnya. Kami hidup berkecukupan, sementara untuk membantu Pak Man saja papa tak mau. Dulu papa tak begini. Perubahan sikap papa aku rasakan sejak dua tahun belakanga. Satu hal yang sulit aku maklumi, sifat keras kepala papa yang tidak bisa kami cairkan.
***
Ini tahun ke empat aku kuliah. Sebulan lagi aku akan lulus dan diwisuda. Menunggu hari wisuda, aku pulang ke rumah orang tuaku. Memikirkan sebulan tanpa berbuat apa-apa di Jakarta, menguatkan niatku untuk pulang. Papa dan mama menyambutku dengan senang. Mereka telah menyiapkan segala sesuatunya agar aku nyaman berada di rumah.
Sebenarnya aku tak pernah mempermasalahkan kenyamanan di rumah. Tapi mungkin karena pertanyaanku waktu itu membuat mereka berpikiran bahwa aku tak nyaman berada di lingkungan ini.
Kami tinggal di sebuah komplek yang bisa dibilang biasa saja untuk ukuran ayahku yang kepala cabang sebuah BUMN. “Pa, kenapa kita nggak pindah aja ke rumah yang papa beli tahun kemarin? Nggak ada yang menempati kan?” tanyaku ketika itu. Papa diam. Lalu ia membuka mulut,”Apa kamu nggak nyaman tinggal di sini? Yang tinggal di sekitar kita memang nggak selevel sama kita. Tapi kan, papa nggak suruh kamu bergaul dengan mereka.”
Aku sempat termenung mendengar jawaban papa. Alasan itu juga yang membuat papa menyediakan sebuah mobil untukku jika aku pulang. Aku bebas mau kemana saja. Tapi hatiku masih meraba-raba. Rumah yang dibeli papa tahun kemarin terletak di pusat kota dan dekat dari kantor beliau. Lingkungannya sangat kondusif untuk kegiatan apapun. Tetapi papa lebih memilih untuk tinggal di sini. Awalnya aku berpikir, mungkin papa ingin mengajarkan kami hidup sederhana dengan rumah yang biasa di lingkungan yang biasa pula. Tapi setelah mendengar jawaban dan melihat sikap papa yang sangat berbeda, aku nggak yakin akan perkiraanku sendiri.
Aku dan tiga kakakku yang jarang bertemu papa semenjak kami kuliah, membuat kami jadi tak mengerti jalan pikiran papa saat ini. Kak Indra, kakakku yang pertama, kuliah di ITB dan sekarang sudah bekerja di sebuah perusahaan IT terkemuka di Jakarta. Kak Melly, yang ke dua, sudah sepuluh tahun di Malaysia. Sejak tamat SMA hingga meraih gelar doktor, dan sekarang menjadi dosen di almamaternya.. Sedangkan Kak Roby, merintis bisnis sendiri setelah menamatkan kuliahnya di Australia. Modal yang diberikan papa berputar dengan iasg hingga hasilnya sangat memuaskan. Hanya aku yang masih kuliah. Tapi sebentar lagi aku akan menjadi seorang sarjana psikologi seperti yang aku inginkan. Dan papa berniat membiayaiku untuk S2.
“Kenapa melamun?” Mama sudah berada di sampingku. Ia memegang sebuah ias. Aku urung meraih ias itu ketika secara iasg mama memindahkan tangannya ke belakang punggung.
“Lihat korannya donk, Ma.”
“Nggak ada berita yang menarik. Kamu nggak jalan-jalan? Papa kan sudah menyediakan mobil untuk kamu. Sayang kalau nggak dipakai.” Mama mengalihkan perhatianku.
“Memangnya itu mobil siapa, Ma? Kemarin aku nggak liat mobil itu.”
            “Oh iya, Mama lupa kasih tau kamu. Mobil yang biasa kamu pakai kan sering Mama bawa. Jadi Papa beli yang baru untuk kamu. Baru dua minggu kok. Kemaren mobilnya ditaruh di rumah nenek. Garasi kita kan nggak muat untuk tiga mobil. Karena kamu lagi di sini, nanti mobil Mama di luar aja. Kan ada satpam.”
          “Sebenarnya Lia nggak terlalu butuh mobil,” hati-hati aku mengucapkannya. “Kenapa harus beli lagi sih, Ma?”
            “Itu artinya Papa iasg sama kamu.” Sudah kuduga jawaban klise itu akan keluar dari mulut mama. Aku tak tau harus ngomong apa lagi kalau mama  sudah bicara seperti itu. Sepertinya aku ini anak yang tak tau terima kasih kalau masih saja mendebatnya.
            “Mama mandi dulu ya. Mau pergi arisan. Kamu mau ikut?” Aku menggeleng. Mataku kembali menatapi jalanan yang mulai dibasahi rintik hujan. Orang-orang yang lalu lalang memakai iasg dan tampak hati-hati menapaki jalan yang agak becek. Sepertinya tujuan orang-orang hari itu sama, melayat ke rumah Pak Man.
            Aku memutar memori ke masa kecil. Dulu, papa tak begitu sibuk bekerja di kantor. Jabatannya pun masih pegawai biasa. Kami tinggal di rumah kontrakan. Setelah kak Indra SMA, papa mendapat promosi jabatan. Dan saat aku SMA, papa menduduki kursi kepala cabang. Aku cukup salut atas usaha papa. Kalau bukan karena itu, mungkin kami tak ias berkuliah di tempat yang bagus seperti yang aku dan kakak-kakakku rasakan. Tapi sekarang aku jadi rindu papa yang dulu. Papa yang sering tersenyum dengan muka berseri. Tapi sekarang, yang aku temui hanya garis muka kaku yang sepi.
            “Non, tadi Ibu pesan, nanti Non makan duluan aja. Mungkin Ibu telat pulangnya.” Gantian Mak Sani yang mengagetkanku.
            “Mama sering seperti ini ya, Mak?”
            “Maksud Non?” Wajah Mak Sani menyiratkan kebingungan.
            “Sering pergi ke luar sampai malam?” Mak Sani mengangguk, “Iya.” Dan ia kembali ke dapur.
            Dulu, mama tak pernah ke luar sampai malam. Kenapa sekarang semuanya jadi berubah? Apa fasilitas yang ada membuat mama dan papa jadi berubah? Aku meraih gagang telepon dan memencet sederet angka. Saudara perempuan memang selalu jadi tempat berbagi yang menyejukkan hatiku. Tak peduli berapa mahalnya pulsa telepon.
            “Kak,” ujarku ketika terdengar suara Kak Melly di seberang sana.
            “Ada apa, Li? Kenapa nelepon jam segini?”
            “Emang nggak boleh?”
            “Boleh, boleh. Kamu kenapa?”
            “Papa berubah, kak. Mama juga.” Aku menceritakan semuanya pada Kak Melly. Rumah baru, mobil baru, kebiasaan baru mama, sikap papa, semua.
            “Bagus donk Li, kalau kamu dibeliin mobil baru. Itu artinya papa lagi ada rezeki. Dan kamu harus menerimanya dengan senang hati.” Komentar Kak Melly.
            “Ah, Kakak nggak ngerasain sih ada di rumah. Aku tuh ngerasa ada yang beda aja. Ya suasananya, sikap papa mama, pokoknya beda, Kak.”
            “Masa sarjana psikologi, itu aja bingung,” goda Kak Melly. Aku diam. Dan sepertinya Kak Melly tau suasana hatiku.
            “Li, lusa Kakak ke Jakarta, ada urusan ke UI. Kakak ngambil cuti seminggu.” Aku tau maksudnya. Kak Melly akan pulang.
  ***
Sejak aku pulang, baru kali ini makan malam bersama mama dan papa. Aku tak tau apa yang membuat mereka punya waktu malam ini. Aku melirik jam dinding. Mungkin sebentar lagi, batinku. Kak Melly bilang, ia pulang hari ini.
Mendengar bel berbunyi, aku langsung meloncat ke arah pintu. Mama dan papa menatapku aneh.
Begitu membuka pintu, aku kaget sekali. Ternyata bukan Kak Melly. Melainkan Kak Indra dan Kak Roby. Surprise!!
“Kak Melly mana? Pasti Kakak janjian ya?” Aku menerobos tubuh mereka berdua. Tapi aku kecewa. Kak Melly nggak ada. Lama berdiri di depan pintu, akhirnya aku masuk juga. Aku melihat kedua kakakku sedang asyik bercengkrama dengan papa dan mama.
“Kamu kangen banget ya, sama Kak Melly? Sampai-sampai kita berdua dicuekin gini.” Begitu aku kembali ke meja makan, kak Roby menggodaku dengan gaya khasnya colek sana-sini.
“Kak Roby apa-apaan sih?” Aku sewot. Kak Roby malah tertawa lebar.
“Bel,” sorakku mendengar bunyi bel lagi.
“Kayak anak TK baru belajar ngenalin benda aja.” Kali ini Kak Indra yang ngomong.
“Biarin,” aku mencibir, berlari melewati ruang tengah dan membukakan pintu. Tapi aku terpaku begitu tau siapa yang datang. Belum sempat aku mengucapkan sesuatu, Kak Indra sudah berdiri di sampingku. Ia menyuruhku masuk lalu menanyakan maksud kedua orang berseragam polisi tersebut.
Meski penasaran, aku ikut saja apa kata Kak Indra. Aku meraih koran yang terselip di antara majalah-majalah politik yang biasa dibaca papa dan duduk di ruang tengah. Aku membuka halaman-halaman koran itu tak bersemangat. Tapi ketika melihat foto papa terpampang di situ, aku kaget bukan main. Walaupun kecil, gambar di foto itu begitu jelas. Aku membaca baris per baris. Aku shock. Ternyata selama ini, semua yang aku nikmati adalah hasil….. Ya Allah… sepertinya sulit aku percaya. Papa menatapku kemudian meneruskan langkahnya. Sorot mata itu begitu jelas mengiba.
Aku sungguh tak tahan melihatnya. Mataku mengikuti papa. Polisi menggiring papa ke pintu. Bertepatan dengan itu, Kak Melly datang. Aku langsung berlari memeluknya. Kak Melly membelai rambutku.
“Papa membesarkan kita dengan uang itu. Papa telah membunuh kepercayaan kita, Kak. Papa telah membunuh rasa bangga kita. Papa telah membunuh…” Aku berurai air mata.
Papa juga telah membunuh dua balita malang tetangga kita, tambahku dalam hati.
                                                                        Padang, 6 November 2007   23:42

No comments: