Tuesday, 10 February 2015

Ada Apa Dengan Revi

Apa yang terjadi di sekeliling kita kadang memang tak luput dari perhatian. Karena memang kita hidup dalam lingkungan sosial yang harus memerhatikan satu sama lain. Begitupun cerpen ini, ditulis karena sesuatu yang terjadi di sekitar saya. Tapi tetap saja ini hanya cerpen, yang intinya tetap saja sebuah cerita. Jangan dijadikan bahan untuk diperdebatkan yaa.. hehhe..

Ini hanya tulisan remaja yang baru melihat dunia.

Selamat membaca yaah :)


ADA APA DENGAN REVI

“Udah oke belum,Ta ?”
“Udah. Oke banget malah,” Revi tersenyum manis mendengar komentar Ata.
“Emang mau kemana sih,Re?” tanya Ata lagi.
“Ada aja,” jawab Revi menirukan sebuah iklan di televisi. Ata memasang tampang kesalnya. Bikin penasaran aja ni orang, batinnya.
“Gue berangkat dulu ya…” Revi berjalan menuju pintu kamar dengan wajah innocent-nya. Ata cuma bisa memperhatikan Revi dari tempat tidurnya.
 Dari atas sampai bawah, dandanan Revi beda banget dari biasanya. Revi yang tiap harinya sporty banget, sekarang malah feminin abis. Gimana nggak bikin penasaran. Rambut sebahu yang biasa diikat, sekarang dilepas plus sebuah jepitan imut bertengger di kepalanya. Kaos oblong yang biasa nempel di badan, sekarang entah disembunyiin dimana. Yang ada malah kemeja cantik yang tentu aja rapi untuk ukuran Revi. Orang-orang yang kenal Revi pasti bingung kalau liat dia saat ini. Coba aja perhatiin, Revi yang hobi banget pakai celana jeans panjang, hari ini pakai rok. Selutut lagi. Mau tau apa yang lebih ngagetin? Sendal. Ya, Revi pake high heels. Ditambah lagi dengan satu tas kecil di tangan. Seratus delapan puluh derajat berubah.
Ata bingung juga memperhatikan ni anak. Mau nanya, ntar takutnya Revi malah jadi nggak pede ama penampilannya. Jarang-jarang kan dia dandan kayak gini. Tapi Ata masih tetap penasaran. Apa sih yang bisa bikin Revi berubah?
Sebuah tanda tanya  besar bercokol di kepala Ata.
***
Hari Minggu yang menyedihkan. Ata duduk di bangku teras rumah kost. Gini nih kalo hari libur nggak ada kegiatan. Alternatif yang segera muncul pasti ngelamun di teras depan.
“Ta, gue pergi dulu ya,” Revi muncul dengan gaya ala ceweknya.
“Ta, gue pergi dulu,” ulang Revi tepat di telinga Ata.
“Eh…oh…Lo apaan sih? Emang gue budeg apa?” Ata yang lagi ngelamun jadi kaget.
“Lo sih, ngelamun aja. Mikirin apaan sih? Segitunya, sampe nggak denger suara gue.”
“Biasalah…he…he….”
“Udah ah, gue berangkat dulu,” Revi meninggalkan Ata yang masih belum sadar betul dari lamunannya.
“Re, bawain oleh-oleh ya…” sorak Ata asal ketika Revi sampai dipagar.
“Emang lo kira gue mo kemana?”
“Ya, kali aja lo niat beliin gue sesuatu.”
“Dasar suka yang gratisan lo ya….”
“He…he…tau aja lo,” Ata cengengesan.
“Titi DiJe ya…” tambah Ata lagi.
“Titi DiJe lagi di rumahnya tuh. Lo liat aja kesana…” jawab Revi asal sambil berlalu dari pandangan Ata.
Ata kembali pada ritualnya. He…he…Sok keren banget ya, kosakatanya. Bilang aja kembali ke lamunannya. Malah jadi pengen ketawa nih. Terlalu puitis sih. Itu pantesnya buat judul sinetron aja. Ata jadi senyam-senyum sendiri. Kalau ada orang yang lewat dan merhatiin Ata pasti mereka bilang gini, “Kasian ya, tu orang. Masih muda udah gila.”
Akhirnya dengan kesadaran yang penuh Ata beranjak ke dalam. Bukan karena takut diliatin orang kalau dia lagi senyum-seyum sendiri. Tapi masalahnya cacing-cacing di perut Ata pada keroyokan minta dikasih subsidi.
***
“Ntar lo mau pergi lagi ya Re?”
“Iya. Emang kenapa?”
“Ada acara apa sih? Gue heran aja sama dandanan lo yang feminin abis “
“Ada deh…” Revi masih aja nggak serius jawabnya. Padahal Ata udah pasang tampang paling serius yang dia punya.
“Huh…gitu lo ya…pake rahasia-rahasiaan segala “
“Biarin…” Revi senang banget lihat tampang Ata yang begini. Mata tajam dengan mulut sedikit maju.
“Gue juga mo pergi kok. Lari pagi.”
“Hah?? Sejak kapan lo rela bangun pagi-pagi cuma buat olah raga? Lari pagi lagi. Biasanya kan lo nggak pernah mau gue ajakin lari pagi.”
“Pengen aja,” Ata malah bikin Revi tambah penasaran.
“Lo mau lari pagi kemana? Sama siapa? Atau ada sesuatu yang lo cari ya sambil lari pagi? Ada yang lo incar misalnya,” Revi nafsu banget nanyanya. Apalagi melihat Ata yang udah mengenakan kaos, celana, plus sepatu olah raga.
“Lo kalo nanya satu-satu donk…” Ata geli melihat ekspresi Revi saat itu. “Lo pasti penasaran ya…he..he..” tambahnya lagi.
“Pede banget sih lo bisa bikin gue penasaran,” Revi sewot.
“Hahaha…santai aja lagi. Jangan sewot gitu. Just kidding. Gue lari pagi cuma pengen cari suasana baru aja kok. Daripada bengong di kamar. Kali aja ntar ada pemandangan indah,” Ata membuat tanda kutip dengan dua jari-jari tangannya di kiri kanan kepala waktu menyebut kata pemandangan.
“Dasar ganjen. Emang lo mau kemana sih?”
“Ke GOR.”
“Sama siapa?”
“Sama Tiwi.”
“Anak baru yang di sebelah ya? Yang dari Jawa itu?”
“Iya. Sekalian nunjukin daerah GOR ke dia.” Ata memperbaiki ikatan tali sepatunya.
“Gue caw dulu ya…” Ata melambaikan tangannya ke Revi begitu melihat Tiwi sudah berada di pintu kamarnya.
***
“Ealah Mbak… Kok malah duduk tho, Mbak” tanya Tiwi dengan logat Jawa yang kental banget. Hampir aja tawa Ata meledak. Lucu banget kedengarannya.
“Cape, Wi.”
“Baru seiki kok udah cape tho. Makanya mbesok-mbesok tuh kalau pagi Mbak minum jamu dulu. Kalau Mbak mau aku bisa bikinin buat Mbak.”
“Makasih deh.”
“Yo wis. Kita duduk dulu.”
“Iki opo tho, Mbak?” Tiwi menunjuk sebuah stadion di belakang mereka.
“Itu  stadion sepak bola, Wi.”
“Ooo…tak kirain tempat pacuan kuda atau opo gitu lho…” Ata cuma tersenyum tipis.
“Orang-orang itu ngapain Mbak?”
“Senam. Ikut aja kalo kamu mau. Barisan belakang masih kosong tuh.”
“Liat itu aku jadi ingat kampung.”
“Ingat kampung?” Ata heran. Apa hubungannya senam massal sama kampung?
“Waktu tujuh belasan, aku nekad ikut lomba joged. Yo, aku goyang wae. Ora ono malu-malu. Kayak ngono lho, Mbak.” Tiwi menunjuk instruktur senam aerobik yang lagi goyang-goyang pinggul kayak goyang ngebornya Inul. Mana medoknya jelas banget lagi.
“Tapi nggak menang. Kata juri, aku kurang hot goyange,” lanjutnya.
Ata tertawa juga mendengar cerita Tiwi. Apalagi kalau denger bahasanya. Bajadul, kata Revi. Alias bahasa jaman dulu.
Ata mengajak Tiwi jalan lagi. Tiwi orangnya ceriwis juga. Apa yang dilihatnya pasti ditanyain.
Mereka sampai di halte. Ata langsung menghempaskan pantatnya di bangku halte. Tiwi memandangi bangunan di belakang mereka. Dilihat dari luarnya, kayaknya bangunan itu udah lama banget berdirinya. Bangunan itu memanjang ke belakang. Di bagian depannya tersusun bangku-bangku kayu dengan rapinya. Bangku-bangku itu terlindungi oleh sebuah canopy yang melengkung ke sisi kiri-kanannya.
Pandangan Tiwi beralih ke atas bangunan itu. Matanya sedikit melebar. Persisnya membulat. Tampak sekali ekspresi heran di wajahnya. Tepat di tengah atap bangunan itu terdapat tiang yang di ujungnya tampak ayam tiruan yang terbuat dari aluminium. Di sisi kanan bangunan itu, tepatnya di parkiran tampak seorang pria turun dari sebuah mobil. Tak lama dari pintu yang satunya keluar pula seorang perempuan muda. Tiwi mengucek matanya. Sepertinya aku kenal deh, sama tu cewek, batinnya.
Mata Tiwi beralih ke papan putih yang bertuliskan nama bangunan itu. Seketika matanya terbelalak dan mulutnya menganga.
“Kita naik bis yang ini aja,” Ata menarik Tiwi menaiki bis yang berhenti di depan mereka.
***
Angin bertiup kencang sekali malam ini. Suara angin dan atap seng yang menghempas membangunkan Ata dari lelapnya. Cahaya lampu teras remang-remang memasuki kamarnya. Klek. Tiba-tiba cahaya itu hilang. Gelap. Mati lampu. Dingin merayapi tubuh Ata. Dia segera menarik selimutnya. Suara angin kian kencang. Samar-samar Ata mendengar suara isak tangis seseorang. Bulu kuduk Ata berdiri. Siapa yang nangis malam-malam begini, batinnya.
Ata membalikkan tubuhnya ke arah tempat tidur Revi yang cuma berjarak satu meter dari tempat tidurnya. Tapi suara itu terdengar lebih keras dari yang didengarnya tadi. Ops, Ata kaget melihat apa yang terjadi. Dia berusaha memejamkan matanya walau terasa sulit sekali.
***
“Ada yang nyariin lo tuh.”
“Siapa?” tanya Revi.
“Cowok, badannya gede, kepalanya botak, kulitnya item lagi.”
“Pasti Bang Fredy.”
“Mana gue tau. Lo kan nggak pernah ngenalin ke gue. Gacoan baru ya?”
“Hehe..kapan-kapan deh, gue kenalin ke lo. Gue berangkat dulu ya…”
***
Ata memperhatikan susunan bukunya. Berantakan banget. Dibanding susunan buku Revi jelas sangat berbeda. Ata jadi semangat buat nyusun buku-bukunya. Mumpung nggak ada jadwal kuliah.
“Hhh… beres,” ucap Ata dalam hati.
Ata mengalihkan pandangannya ke rak buku Revi. Tampak kaset yang tersusun rapi pada rak bagian atas. Ata beranjak menuju susunan kaset-kaset itu. Kali aja ada yang bagus, batinnya.
“Assalammualaikum….” kepala seseorang muncul di pintu. Ata menoleh. Ternyata si Mujadul alias muka jaman dulu. Siapa lagi kalau bukan Tiwi. Ini julukan Revi yang bikin nih. Jahat ya. Masa Tiwi dibilang mujadul. Muka Jawa sih iya…Hehe..sama aja nih jahatnya.
“Ono opo tho, Mbak? Kok senyum sendiri?”
“Nggak ada apa-apa. Cuma senam wajah.”
“Senam wajah? Baru ya? Siapa yang ngajarin, Mbak?”
Aduh, ni anak lugu, tulalit, telmi, ato gimana sih? Nggak tau orang becanda apa.
“Kapan-kapan deh aku kasih tau.”
Ata meraih kaset yang ada di tengah susunan itu. Dia membaca tulisan yang ada di cover kaset .Keningnya berkerut. Ata meletakkan kaset itu kembali pada tempatnya. Pandangannya beralih pada buku-buku. Tampak beberapa novel. Dan itu… Ata meraih sebuah buku kecil yang bersampul hijau tua. Tebal banget. Apa sih, batin Ata. Dia segera membaca judulnya. Wajahnya berubah seketika.
“Ono opo tho, Mbak?” suara Tiwi mengagetkan Ata.
“Nggak ada apa-apa kok.”
“Kok muka Mbak pucat gitu? Mbak sakit ya?”
“Nggak…. Nggak ada apa-apa kok,” Ata berbohong.
“Mbak, waktu kita nunggu bis di halte kemaren aku lihat Mbak Re.”
“Revi?”
“Iya. Mbak liat nggak?” Ata menggeleng.
“Aku liat Mbak Re di bangunan yang di belakang halte.”
“Hah?? Sama siapa?”
“Sama cowok. Mereka turun dari mobil warna silver yang diparkir disitu.”
“Gimana ciri-ciri tu cowok?”
“Kepalane kayak professor gitu, Mbak. Orangnya gemuk. Item.”
Itu kan yang kemaren nyari Revi, batin Ata.
***
Malam ini penyakit sulit terlelap melanda Ata lagi. Sejak kapan gue menderita insomnia? Ata bertanya-tanya tak tentu pada diri sendiri. Terdengar suara hujan turun dengan derasnya. Disusul badai yang menimbulkan bunyi-bunyian di atap Wisma Melati. Samar-samar terdengar lagi suara tangis yang tertahan. Ata membalikkan badan. Benar. Revi menangis lagi. Kenapa?
Ata tak berani mendekatinya. Takut Revi nggak mau diganggu. Dengan rasa penasaran yang menjadi, Ata berusaha memejamkan mata. Meskipun sulit untuk bersikap acuh, Ata berusaha untuk tidak menanyakan hal-hal yang menurutnya adalah pribadi sekali bagi Revi.
***
Ata membuka pintu kamar dengan semangat. Rasa kantuk yang amat sangat telah membawa pikirannya pada kasur empuk di kamarnya.
“Hah??” Pupil mata Ata melebar seketika. Rasa kantuk yang menghantui hilang entah kemana. Apa yang terjadi? Perampokan? Nggak mungkin. Beribu tanya muncul di kepala Ata. Matanya memandang berkeliling. Barang-barangnya lengkap. Tak ada satupun yang hilang. Hanya barang-barang Revi yang tak tampak satu pun.
“Ta, ini ada titipan dari Revi,” sebuah suara mengagetkan Ata.
“Emangnya Revi kemana, Bu?”
“Pindah.” Ata jadi makin bingung. Dia meraih amplop yang diberikan ibu kos.
“Kamu tau kan orang-orang yang tinggal disini mayoritas muslim? Kalau Revi masih tinggal disini mereka takut anak-anak mereka terpengaruh,” ucap Bu Mer sebelum meninggalkan kamar Ata.
Ata makin nggak ngerti apa yang sebenarnya terjadi. Dia segera membuka amplop putih itu.

Dear Ata,
Sebelumnya gue mau minta maaf  sama lo kalo selama ini mungkin gue nyusahin lo atau gue sering bikin lo kesal. Gue tau lo teman yang baik. Lo sering ngigetin gue kalo gue salah. Tapi untuk kali ini, gue merasa inilah jalan gue. Sejak beberapa bulan yang lalu, gue bukan muslim lagi. Gue tau lo pasti kaget denger ini semua. Tapi ini gue lakuin demi kelangsungan hidup gue. Mungkin lo masih bingung. Gini Ta, Sejak beberapa bulan yang lalu, Papa nggak ngirimin uang lagi. Usaha Papa bangkrut. Otomatis gue harus berhenti kuliah. Padahal cuma tinggal satu semester lagi. Pada saat yang sama gue ketemu lagi sama senior gue di SMA dulu. Dan dia nawarin bantuan. Nggak ada pilihan lain. Gue harus nyelesein kuliah gue. Gue terima tawaran Bang Fredy.
Sejak bantuannya mengalir, gue makin deket sama dia. Dia minta temenin kemana aja, pasti gue temenin. Karena gue merasa sangat berhutang budi. Dan hari itu, hari Minggu pertama gue nemenin dia ke gereja. Cuma nemenin. Tapi lama-kelamaan gue makin sering kesitu. Dan lo pasti tau apa yang terjadi selanjutnya. Gue merasa di situlah jalan gue. Itu kehendak gue. Semua perubahan yang gue lakukan adalah keinginan Bang Fredy. Tapi gue nggak ngerasa terpaksa ngelakuinnya. Gue harap lo bisa ngerti gue.
Ata memutar kembali semua peristiwa yang terekam di kepalanya beberapa hari yang lalu. Bagaimana dia menemukan kaset rohani Kristen dan injil, dan Tiwi yang melihat Revi di gereja belakang halte.
                                                                                    Padang, 16 Oktober 2005


2 comments:

Ron said...

Kisah yang menarik, kisah yang sudah berumur cukup lama ya. :)

listentorica said...

Hai Ron.. Terima kasih sudah mampir.
Iya, ini tulisan udah lama banget. Lebih kurang 10 tahun. Hehhe..