Cerpen ini saya tulis tahun 2006. Awalnya sih karena sering denger berita tentang malpraktek. Bukan maksud menyudutkan profesi dokter, tapi pada kenyataannya memang ada dokter yang mungkin tidak memiliki ilmu yang cukup. Saya lebih melihat ke ilmunya dibanding masalah kelalaian. Tapi ini hanya cerita fiktif lho. Hanya sebuah cerpen.
Silahkan dibaca :)
ANDAI SAJA…
Tubuh kurus Pak Sam tampak seperti mengecil. Badannya
kaku di ranjang Rumah Sakit. Tulang-tulangnya seperti mencuat keluar dari kulit
sawo matangnya. Matanya tertutup rapat. Wajah Pak Sam tampak pucat. Padahal
baru empat hari ia berada di Rumah Sakit.
Di tangan Pak Sam tertancap jarum infus. Ia tak sadarkan
diri. Koma. Di sekeliling ranjang tempatnya terbaring lemah, istri beserta
anak-anaknya tak lepas memandangi. Tapi, mereka semua diam. Sepertinya setiap
kepala di ruangan itu sibuk dengan pikiran masing-masing.entah apa yang mereka
pikirkan. Tapi, tatapan nanar mereka seolah mampu menjawab tanya yang bergulir.
Fatma, gadis berusia dua belas tahun memegangi tangan
Pak Sam. Putri bungsu itu menyentuh jemari tangan ayahnya yang kaku. Tak terasa
sebentuk butiran bening jatuh dari sudut matanya. Tapi ia tak terisak.
Ditatapnya wajah Pak Sam. Lalu ibunya. Untunglah ibu tak melihatku menangis,
batin Fatma. Ia tak mau menambah kesedian ibunya. Sesegera mungkin ia menghapus
air matanya.
Sedangkan Maya, si sulung, menyentuh lembut dahi
ayahnya. Ia mengusap rambut sang ayah dengan penuh sayang. Matanya
berkaca-kaca.
Sepasang mata bergantian menatap mereka satu persatu. Lalu beralih
pada Pak Sam. Ah, andai saja waktu itu ayah tidak ke ladang, batinnya. Andai
saja ayah meminta pertolongan dokter lain. Andai saja ayah disuntik. Andai
saja… entah berapa banyak andai-andai semua orang yang turut prihatin. Namun
itu tak akan mengubah segalanya. Buktinya Pak Sam tetap terbaring tak berdaya
di Rumah Sakit ini, pikir Hendra.
Walau hatinya menentang andai-andai itu, Hendra tetap
saja memikirkannya. Ia jadi teringat lagi senja itu.
Selepas maghrib, ibu dan ayahnya ke rumah Dokter Lin.
Karena kaki ayahnya sakit sekali. Katanya ada sesuatu yang menusuk ketika ia
mengambil sayur di ladang. Tapi sang ayah juga tak tau apa yang menusuk
kakinya.
Hendra berniat mengantarkan Pak Sam ke tempat praktek Dokter Firman,
tempat ayahnya biasa berobat. Tapi, Pak Sam bersikeras berobat pada Dokter Lin.
“Sama saja kok, Hen. Dokter Lin itu kan juga seorang
dokter,” ujar sang ayah waktu itu.
Walau Hendra diam, tapi ia takut obat yang diberikan
Dokter Lin tidak cocok dengan ayahnya. Obat Dokter Lin berdosis tinggi. Dulu
Pak Sam pernah minta obat sakit kepala pada Dokter Lin. Setelah minum obat itu,
bukannya sembuh tapi muka Pak Sam malah membengkak. Ternyata obat yang
diberikan Dokter Lin dosisnya tinggi. Hendra takut hal itu terulang lagi. Tapi
kalau Pak Sam sudah memutuskan sesuatu, Hendra tak bisa berbuat apa-apa lagi.
Ayahnya adalah seorang yang keras. Tak bisa disanggah.
Sampai dua hari Pak Sam minum obat dari Dokter Lin,
Hendra tak bertanya apa-apa. Karena Pak Sam tampak sehat-sehat saja. Di hari ke
tiga, tubuh Pak Sam kejang-kejang. Keluarganya segera melarikannya ke Rumah
Sakit. Sejak saat itu, Pak Sam tak sadarkan diri. Sampai saat ini.
Pikiran Hendra menerawang lagi pada andai-andainya. Ah,
andai saja… Hendra menatap wajah beku di depannya.
☺☺☺
“Sudah lihat Pak Sam belum, Bu?” tanya Vina pada ibunya.
“Sudah.”
“Bagaimana perkembangannya, Bu?” Vina duduk di samping
ibunya yang sedang menjahit. “Pak Sam masih belum sadar,” jawab sang ibu.
“Sebenarnya Pak Sam kenapa sih, Bu?” Vina masih
penasaran.
“Kata dokter, Pak Sam terkena tetanus.” Vina menatap
ibunya tak mengerti.
“Bukankah waktu itu Pak Sam sudah berobat pada Dokter
Lin?”
“Iya, tapi Pak Sam tidak disuntik anti tetanus.”
“Lho, kenapa bisa seperti itu?” Vina tampak heran.
“Yang ibu dengar sih, kata orang-orang Pak Sam takut
disuntik.”
“Masa sih, Bu, Zaman sudah canggih seperti ini masih ada
saja orang yang takut disuntik?”
“Huss, kamu nggak boleh ngomong seperti itu.” Vina diam.
Ia mengerti maksud ibunya.
☺☺☺
Tubuh kaku Pak Sam tetap tak bergerak. Orang-orang di
sekelilingnya tampak cemas. Maya membuka Al Qur’an dan mulai membaca
Yasin. Deg! Jantung Hendra berdetak
kencang. Pikirannya berkecamuk mendengar Yasin yang dibacakan Maya. Apakah ayah
sudah tak bisa tertolong lagi? Tiap mendengar Yasin ia selalu teringat akan
kematian. Hendra tak tahan lagi. Ia keluar dari ruangan itu.
Langkah Hendra terhenti. Ia mendengar suara-suara yang
menyebut-nyebut nama ayahnya. Ia berdiri di sudut tembok dekat bangku yang
diduduki dua wanita paro baya itu. Mereka tak menyadari kalau ada seseorang
yang mendengarkan pembicaraan mereka.
“Iya, Bu Nar bilang, Pak Sam sudah minta disuntik anti
tetanus. Tapi Dokter Lin bilang, dalam obat yang diberikannya sudah terkandung
anti tetanus. Bu Nar tak mau menceritakan hal ini pada siapa-siapa. Hanya saya
dan Bu Ratna yang tau. Bu Nar juga tak mau menuntut atau bertengkar.”
Jantung Hendra berdetak makin kencang. Mengapa Ibu tak
pernah bilang? Mengapa? Dada Hendra bergemuruh hebat. Mengapa ia tak pernah
mengetahui cerita itu? Mengapa Ibu menyembunyikannya? Hendra tau jawabannya.
Ibu tadi benar. Pastilah Ibu tak mau terjadi pertengkaran. Apalagi kami dan
Dokter Lin bertetangga, batinnya.
Hendra terduduk lemas. Pikirannya kembali menerawang.
Mengapa ayah menolak diantarkan ke tempat praktetk Dokter Firman? Atau, mengapa
tak bersikeras saja minta disuntik? Kalau ayah bersikeras pastilah Dokter Lin
akan menyuntiknya.
Hendra berdiri dan melangkah menuju kamar perawatan
ayahnya. Ia membuka pintu putih itu lambat-lambat. Takut mengagetkan yang lain.
Perlahan pintu itu bergeser.
Begitu pintu terbuka, Hendra malah terpaku menyaksikan
apa yang terjadi. Fatma, Maya, dan Ibu menangis. Apakah ayah… Hendra bergerak
cepat menuju mereka. Dilihatnya mata sang ayah telah terbuka. Ayahnya telah
sadar. Ternyata Fatma, Maya, dan ibunya menangis bahagia karena Pak Sam telah
sadar.
Pak Sam menatap istri dan anak-anaknya bergantian. “Saya
mau disuntik,” ujarnya. Segurat senyum menghiasi wajahnya.
“Nanti akan saya sampaikan pada dokter.” Hendra memegang
tangan ayahnya. Semua yang ada di ruangan itu tersenyum. Senang. Semua
perhatian tertuju pada Pak Sam.
Tiba-tiba mata Pak Sam tertutup. Tangannya terkulai
lemah. Tubuhnya tiba-tiba kaku. Tak ada yang bergerak. Hendra menyentuh
pergelangan tangan sang ayah. Tak ada denyut. Semua wajah beku menatap Pak Sam.
Tak lama berselang suara tangis pecah di ruangan itu. Pak Sam telah pergi untuk
selamanya.
“Tak mungkin. Ini tak mungkin terjadi.” Hendra histeris.
Ia tak bisa menahan perasaannya.
“Aku tak bisa terima. Ini pasti kesalahan Dokter Lin.
Aku benci dia. Ini kesalahannya.” Hendra tak mampu menahan emosi. Sementara
semua mata menatapnya tak mengerti. Dokter Lin? Apa hubungannya dengan Dokter
Lin? Mereka bertanya-tanya.
“Kalau bukan karena dia tak mungkin Ayah meninggal
secepat ini. Kalau dia mau menyuntik ayah…”
“Sudahlah, Nak.” Bu Nar memeluk
Hendra. “Tak ada yang salah. Juga Dokter Lin. Ini takdir. Dokter Lin hanyalah
seorang dokter yang tugasnya hanya mengobati sesuai ketentuannya.” Bu Nar
mengusap rambut Hendra. Ah, Bu Nar memang orang yang sabar, batin Vina yang
menyaksikan semua itu.
“Seandainya waktu itu ayah tidak ke Dokter Lin…” Hendra
menatap ibunya.
“Tak baik berandai-andai seperti itu. Ini kehendak
Tuhan. Semua sudah diatur.”
Ya, batin dua wanita yang tadi baru saja membicarakan
hal ini. Kekuasaan Tuhan telah mengalahkan ilmu seorang dokter. Tak ada seorang
pun yang mampu menandingiNya.
Padang, 19 Februari 2006.
No comments:
Post a Comment