Tuesday, 10 February 2015

Aku Nggak Akan Jadi Shakespeare

Menulis cerpen remaja itu emang hal yang menggoda. Banyak hal yang bisa menjadi inspirasi. Banyak ide yang bisa dituangkan berkaitan dengan dunia remaja. Tentu banyak juga cerita cinta ABG yang bisa dijadikan bahan yang bagus untuk diulas.

Cerpen ini saya tulis tahun 2006, sebelum munculnya blackberry, masih zaman SMS, saat SNMPTN masih dengan nama SPMB, saat semangat menulis itu masih membara (cailaaah.. alay yah). "Aku Nggak Akan Jadi Shakespeare" pernah dimuat di harian Umum Singgalang tahun 2007 di halaman cerpen remaja Minggu.

Agak malu juga publish tulisan cengeng remaja ini. Tapi ini adalah bagian dari karya yang pernah saya tulis. 

Silahkan dibaca :)


AKU NGGAK AKAN JADI SHAKESPEARE
Oleh : Rica Fulwayani

Vian membuka amplop di tangannya. Di sampingnya, Rama melakukan hal yang sama. Beberapa detik kemudian mereka saling pandang dengan senyum mengukir bibir. Vian memperlihatkan kertas yang tadi dikeluarkannya dari amplop.
”Aku lulus,” ujarnya sangat ceria.
”Aku juga,” balas Rama.
”Kita lulus,” ujar mereka bersamaan. Mereka melonjak kegirangan.
”Kamu mo ngelanjutin kemana?” tanya Vian pada Rama. Yang ditanya hanya tersenyum simpul.
”Kamu curang. Ayo, bilang. Kamu janji mo bilang kalo kita udah lulus. Sekarang, ayo bilang.”
”Ada deh.”
”Kamu curang. Aku benci sama kamu,” Vian membuang muka.
”Vian,” goda Rama.
Vian tak menyahut. Mulutnya meruncing.
”Kamu cakep, deh.”
”Norak!”
”Norak norak gini kan pacar kamu juga.”
”Nggak.”
”Lho, kok nggak? Aku kan emang cowok kamu.”
”Kalo kamu mau bilang.”
”Kalo nggak?”
”Kita putus.”
”Kalo aku nggak mau?”
”Harus.”
”Ya udah deh. Aku akan bilang. Tapi kamu harus senyum dulu.”
”Nggak mau.”
Rama berpindah posisi ke depan Vian. Tangannya meraih tangan Vian.
”Iya, deh. Aku kalah. Aku... aku mau kuliah di Paris.”
”Apa? Paris?” Vian melongo.
”Iya. Aku mo ngambil sastra.”
Vian masih tak mampu berkata. Ia masih tak percaya pada ucapan Rama barusan. Ia menatap wajah Rama lekat-lekat. Mencari manik hitam matanya. Vian seolah meminta kepastian lagi. Ia tak yakin Rama akan kuliah di Paris. Rama akan meninggalkannya begitu jauh.
Rama menggoyang-goyang tangannya di depan mata Vian.
”Kamu kenapa sih, Vi?”
”Kamu membuat keputusan yang nggak pernah aku duga dan kamu masih tanya aku kenapa?”
”Vi, kamu tau kan, dari dulu aku suka sekali sama dunia sastra. Dan...”
”Dan kamu lebih tertarik Chateaubriand daripada aku. Kamu pengagum fanatik karya-karya Shakespeare. Itu kan, yang membuat kamu berkeinginan untuk kuliah di Paris?”
”Kok kamu sewot gitu sih, Vi? Kesempatan ini nggak datang dua kali, Vi. Belum tentu tahun depan Papa bakal ngizinin aku kuliah di Paris. Belum tentu juga Papa punya dana di waktu yang lain seandainya aku menunda kesempatan ini.”
Vian tak bergeming. Wajahnya tertunduk.
”Aku mohon kamu bisa ngerti keinginanku. Toh, kita masih bisa telepon-teleponan, kirim-kiriman email. Aku masih bisa pulang tiap tahunnya.”
Vian tetap diam. Otaknya berputar.
”Rama benar. Aku terlalu egois untuk melarangnya pergi,” batin Vian.
”Kamu tenang aja. Aku nggak bakal ngelupain kamu.”
Rama menyentuh dagu Vian lembut. Mengangkatnya hingga tatapan mereka beradu.
”Kamu percaya kan sama aku?” Rama tak berkedip.
Saatnya aku mengerti. Vian mengangguk di hadapan Rama. Mereka tersenyum.
”Kamu boleh ke Paris asalkan tiap hari kirim email ke aku.”
”Oke, Bos.”
☺☺☺
Rama sibuk mengurus surat-surat untuk keberangkatannya ke Paris. Mempersiapkan semua berkas-berkas nilainya dan semua perizinan. Sesekali dia menyempatkan diri menelepon Vian atau paling tidak SMS sekedar mengabari dia dimana. Tapi beberapa hari belakangan ini nama Rama tak muncul di layar handphone Vian.vian mencoba menghubunginya, tapi handphone Rama nggak aktif.
Say, kamu dimana?
Vian mengirim SMS pada Rama. Tapi statusnya pending. Vian jadi bingung. Beberapa jam emudian ia mengirim SMS lagi.
Jadi nggak, ke Parisnya?
Namun statusnya juga pending. Vian makin bingung. Di tengah kegelisahan itu akhirnya ia tertidur. Tapi tak berapa lama handphone-nya berbunyi. Ia segera meraih benda mungil itu. Ternyata hanya laporan delivered. Tapi laporan itu membuat Vian berharap Rama membalas SMS-nya.
Vian menunggu dan terus menunggu balasan dari Rama. Irama jantungnya sudah tak beraturan. Tapi SMS Rama tak kunjung datang. Vian berinisiatif mengirim SMS lagi.
Say, apa aku ada salah sm kamu? Knp SMS aku gak dibalas?
Tak ada balasan. Vian coba menghubungi, nggak diangkat-angkat. Tiap hari Vian mengirim SMS pada Rama. Tetap tak dibalas. Akhirnya Vian bosan dan berusaha menghilangkan pikirannya pada Rama walaupun itu sulit. Vian tak ingin ia gagal dalam SPMB karena terus memikirkan Rama. Ia harus fokus pada pelajarannya.
Sementara di tempat lain, Rama menatap layar handphone-nya. Ia membaca lagi beberapa SMS yang masuk beberapa hari ini. Beberapa SMS yang tak pernah dibalasnya. SMS dari nomor yang sama.
Rama membuka SMS yang terakhir.
Kamu tega mempermainkan perasaanku. Mungkin ini yang terbaik menurut kamu. Aku akan melupakanmu.
Ya, aku memang tega, Vi. Hati kecil Rama ingin rasanya membalas semua itu.
Rama kembali pada sikapnya beberapa hari belakangan ini. Ia tak menghubungi Vian dan tak pernah mengangkat teleponnya. Bahkan membalas SMS pun tidak. Itu semua hanya untuk melupakan Vian. Rasanya ia tak sanggup harus berjauhan dengan Vian. Mulai dari sekarang ia harus bisa menjauh dari semua yang berkaitan dengan Vian. Karena dia sadar, tidak mudah untuknya hidup jauh dari Vian. Banyak hal yang selama ini selalu dilakukannya bareng Vian. Tak mudah untuk merubahnya.
Aku harus membiasakan diri dari sekarang, batinnya.
Maafin aku, Vi. Mungkin kamu nggak akan ngerti dengan pola pikirku ini. Tapi ini harus aku lakukan, Vi. Maafin aku.
Seperti halnya Rama, Vian juga tak mampu menghapus Rama dari pikirannya. Walaupun ia sakit hati atas tindakan Rama yang menghilang tanpa kabar, Vian tetap berharap Rama akan menghubunginya.
Kamu jahat, Rama. Jahat.
☺☺☺
”Kamu yakin mau kuliah di Paris? Beberapa hari ini Papa lihat kamu nggak semangat ngurus surat-suratnya. Kamu masih punya waktu dua hari lagi untuk berpikir.”
Rama hanya diam. Ia tak bergeming sedikitpun. Papanya jadi makin penasaran melihat Rama diam dan malah sibuk memainkan roti di depannya.
”Ram, kamu sudah memikirkan semuanya kan? Paris itu jauh. Kamu harus siap dengan segala konsekwensinya. Papa mendukung keinginan kamu untuk menjadi sastrawan dunia. Papa setuju seratus persen. Tapi, tiap pilihan itu ada harganya, Ram.”
Rama merenungkan kata-kata papanya. Tiap pilihan itu ada harganya. Ya, jika ia memilih ke Paris, ia harus membayar dengan cintanya. Jika memilih tetap di Indonesia, ia harus melupakan impiannya.
Rama meraih telepon dan memencet beberapa angka. Terdengar nada tersambung. Tak lama telepon diangkat.
”Non Vian di Rumah Sakit, Den.”
”Rumah Sakit? Vian kenapa, Bi?”
”Beberapa hari ini dia nggak mau makan. Dia mengurung diri di kamar. Dia sering ngigau. Dan Bibi sering dengar Non Vian nangis malam-malam. Akhirnya kemaren dia pingsan. Kata dokter harus diopname.”
”Rumah Sakit mana, Bi?”
Medistra.”
”Makasih ya, Bi.”
Rama menutup telepon dan bergegas meraih kunci motornya. Ia berharap Vian masih mau memaafkannya. Semoga saja masih ada tempat untuknya di hati Vian.
Rama membuka pintu ruangan tempat Vian dirawat. Vian sedang tidur. Badannya tampak kurus. Jarum infus menancap di tangannya.
”Rama.” sapaan mama Vian mengalihkan pandangan Rama.
”Vian sakit apa, Tante?”
”Cuma kelelahan.”
Syukurlah, batin Rama. Ia sudah berpikir yang bukan-bukan. Mama Vian keluar dan meninggalkan mereka berdua. Rama tak mau membangunkan Vian walaupun perasaan rindunya memuncak. Rama menyentuh tangan Vian lembut.
”Maafin aku, Vi. Aku nggak bermaksud membuat kamu begini. Ternyata aku memang nggak bisa jauh dari kamu. Aku sudah membuat pilihan dan aku harus membayarnya dengan impianku. Di negeri sendiri pun aku masih bisa menjadi sastrawan. Aku nggak akan ke Paris.” Rama merebahkan kepalanya di sisi Vian.
”Aku akan kuliah di sini. Dan aku nggak akan pernah membayarnya dengan cinta. Kamu harus yakin itu, Vi.” tambah Rama.
Tangan Vian bergerak.
”Ram, aku dengar semuanya. Aku tau kamu nggak akan ninggalin aku.”
Rama mengangguk.
”Gimana dengan Paris?”
Rama menggeleng.
”Kalo Shakespeare?”
”Aku nggak akan jadi Shakespeare, Vi. Aku akan jadi diri sendiri di negeri sendiri.
Vian mengelus kepala Rama. Sebentuk kristal meluncur dari sudut matanya.
”Aku sayang kamu,” ujar Rama.
”Aku juga.”
Rama memeluk Vian erat.

                     Padang, 19 Agustus 2006  01:48

No comments: