Menulis cerpen remaja itu emang hal yang menggoda. Banyak hal yang bisa menjadi inspirasi. Banyak ide yang bisa dituangkan berkaitan dengan dunia remaja. Tentu banyak juga cerita cinta ABG yang bisa dijadikan bahan yang bagus untuk diulas.
Cerpen ini saya tulis tahun 2006, sebelum munculnya blackberry, masih zaman SMS, saat SNMPTN masih dengan nama SPMB, saat semangat menulis itu masih membara (cailaaah.. alay yah). "Aku Nggak Akan Jadi Shakespeare" pernah dimuat di harian Umum Singgalang tahun 2007 di halaman cerpen remaja Minggu.
Agak malu juga publish tulisan cengeng remaja ini. Tapi ini adalah bagian dari karya yang pernah saya tulis.
Silahkan dibaca :)
AKU NGGAK AKAN JADI SHAKESPEARE
Oleh : Rica Fulwayani
Vian membuka amplop di tangannya. Di sampingnya,
Rama melakukan hal yang sama. Beberapa detik kemudian mereka saling pandang
dengan senyum mengukir bibir. Vian memperlihatkan kertas yang tadi
dikeluarkannya dari amplop.
”Aku lulus,” ujarnya sangat ceria.
”Aku juga,” balas Rama.
”Kita lulus,” ujar mereka bersamaan. Mereka
melonjak kegirangan.
”Kamu mo ngelanjutin kemana?” tanya Vian pada
Rama. Yang ditanya
hanya tersenyum simpul.
”Kamu curang. Ayo, bilang. Kamu
janji mo bilang kalo kita udah lulus. Sekarang, ayo bilang.”
”Ada deh.”
”Kamu curang. Aku benci sama kamu,” Vian membuang muka.
”Vian,” goda Rama.
Vian tak menyahut. Mulutnya meruncing.
”Kamu cakep, deh.”
”Norak!”
”Norak norak gini kan pacar kamu
juga.”
”Nggak.”
”Lho, kok nggak? Aku kan emang
cowok kamu.”
”Kalo kamu mau bilang.”
”Kalo nggak?”
”Kita putus.”
”Kalo aku nggak mau?”
”Harus.”
”Ya udah deh. Aku akan bilang. Tapi kamu harus
senyum dulu.”
”Nggak mau.”
Rama berpindah posisi ke depan Vian. Tangannya
meraih tangan Vian.
”Iya, deh. Aku kalah. Aku... aku mau kuliah di Paris.”
”Apa? Paris?” Vian melongo.
”Iya. Aku mo ngambil sastra.”
Vian masih tak mampu berkata. Ia masih tak percaya
pada ucapan Rama barusan. Ia menatap wajah Rama lekat-lekat. Mencari manik
hitam matanya. Vian seolah meminta kepastian lagi. Ia tak yakin Rama akan
kuliah di Paris. Rama akan meninggalkannya begitu jauh.
Rama menggoyang-goyang tangannya
di depan mata Vian.
”Kamu kenapa sih, Vi?”
”Kamu membuat keputusan yang nggak
pernah aku duga dan kamu masih tanya aku kenapa?”
”Vi, kamu tau kan, dari dulu aku suka sekali sama
dunia sastra. Dan...”
”Dan kamu lebih tertarik Chateaubriand daripada
aku. Kamu pengagum fanatik karya-karya Shakespeare. Itu kan, yang membuat kamu
berkeinginan untuk kuliah di Paris?”
”Kok kamu sewot gitu sih, Vi? Kesempatan
ini nggak datang dua kali, Vi. Belum tentu tahun depan Papa bakal ngizinin aku
kuliah di Paris. Belum tentu juga Papa punya dana di waktu yang lain seandainya
aku menunda kesempatan ini.”
Vian tak bergeming. Wajahnya
tertunduk.
”Aku mohon kamu bisa ngerti keinginanku. Toh, kita
masih bisa telepon-teleponan, kirim-kiriman email. Aku masih bisa pulang tiap
tahunnya.”
Vian tetap diam. Otaknya berputar.
”Rama benar. Aku terlalu egois untuk melarangnya
pergi,” batin Vian.
”Kamu tenang aja. Aku nggak bakal ngelupain kamu.”
Rama menyentuh dagu Vian lembut. Mengangkatnya hingga tatapan mereka beradu.
”Kamu percaya kan sama aku?” Rama tak berkedip.
Saatnya aku mengerti. Vian mengangguk di hadapan Rama.
Mereka tersenyum.
”Kamu boleh ke Paris asalkan tiap
hari kirim email ke aku.”
”Oke, Bos.”
☺☺☺
Rama sibuk mengurus surat-surat untuk
keberangkatannya ke Paris. Mempersiapkan semua berkas-berkas nilainya dan semua
perizinan. Sesekali dia menyempatkan diri menelepon Vian atau paling tidak SMS
sekedar mengabari dia dimana. Tapi beberapa hari belakangan ini nama Rama tak
muncul di layar handphone Vian.vian mencoba menghubunginya, tapi handphone Rama
nggak aktif.
Say, kamu dimana?
Vian mengirim SMS pada Rama. Tapi statusnya pending. Vian jadi
bingung. Beberapa jam emudian ia mengirim SMS lagi.
Jadi nggak, ke Parisnya?
Namun statusnya juga pending. Vian
makin bingung. Di tengah kegelisahan itu akhirnya ia tertidur. Tapi tak berapa
lama handphone-nya berbunyi. Ia segera meraih benda mungil itu. Ternyata hanya laporan delivered. Tapi laporan itu membuat Vian
berharap Rama membalas SMS-nya.
Vian menunggu dan terus menunggu balasan dari Rama. Irama jantungnya
sudah tak beraturan. Tapi
SMS Rama tak kunjung datang. Vian berinisiatif mengirim SMS lagi.
Say, apa aku ada salah sm kamu? Knp SMS aku gak
dibalas?
Tak ada balasan. Vian coba
menghubungi, nggak diangkat-angkat. Tiap hari Vian mengirim SMS pada Rama. Tetap tak dibalas. Akhirnya Vian
bosan dan berusaha menghilangkan pikirannya pada Rama walaupun itu sulit. Vian
tak ingin ia gagal dalam SPMB karena terus memikirkan Rama. Ia harus fokus pada
pelajarannya.
Sementara di tempat lain, Rama menatap layar
handphone-nya. Ia membaca lagi beberapa SMS yang masuk beberapa hari ini.
Beberapa SMS yang tak pernah dibalasnya. SMS dari nomor yang sama.
Rama membuka SMS yang terakhir.
Kamu tega mempermainkan perasaanku. Mungkin ini yang
terbaik menurut kamu. Aku akan melupakanmu.
Ya, aku memang tega, Vi. Hati kecil Rama ingin rasanya membalas semua itu.
Rama kembali pada sikapnya beberapa hari belakangan ini. Ia tak menghubungi Vian dan tak
pernah mengangkat teleponnya. Bahkan membalas SMS pun tidak. Itu semua hanya untuk melupakan Vian. Rasanya
ia tak sanggup harus berjauhan dengan Vian. Mulai dari sekarang ia harus bisa
menjauh dari semua yang berkaitan dengan Vian. Karena dia sadar, tidak mudah
untuknya hidup jauh dari Vian. Banyak hal yang selama ini selalu dilakukannya
bareng Vian. Tak mudah untuk merubahnya.
Aku harus membiasakan diri dari
sekarang, batinnya.
Maafin aku, Vi. Mungkin kamu nggak akan
ngerti dengan pola pikirku ini. Tapi ini harus aku lakukan, Vi. Maafin aku.
Seperti halnya Rama, Vian juga tak mampu menghapus
Rama dari pikirannya. Walaupun ia sakit hati atas tindakan Rama yang menghilang
tanpa kabar, Vian tetap berharap Rama akan menghubunginya.
Kamu jahat, Rama. Jahat.
☺☺☺
”Kamu yakin mau kuliah di Paris? Beberapa hari ini
Papa lihat kamu nggak semangat ngurus surat-suratnya. Kamu masih punya waktu
dua hari lagi untuk berpikir.”
Rama hanya diam. Ia tak bergeming sedikitpun.
Papanya jadi makin penasaran melihat Rama diam dan malah sibuk memainkan roti
di depannya.
”Ram, kamu sudah memikirkan semuanya kan? Paris
itu jauh. Kamu harus siap dengan segala konsekwensinya. Papa mendukung
keinginan kamu untuk menjadi sastrawan dunia. Papa setuju seratus persen. Tapi,
tiap pilihan itu ada harganya, Ram.”
Rama merenungkan kata-kata papanya. Tiap pilihan itu ada harganya. Ya, jika ia memilih ke Paris, ia harus membayar dengan cintanya.
Jika memilih tetap di Indonesia, ia harus melupakan impiannya.
Rama meraih telepon dan memencet beberapa angka. Terdengar nada tersambung. Tak lama telepon diangkat.
”Non Vian di Rumah Sakit, Den.”
”Rumah Sakit? Vian kenapa, Bi?”
”Beberapa hari ini dia nggak mau makan. Dia mengurung diri di kamar. Dia
sering ngigau. Dan Bibi sering dengar Non Vian nangis malam-malam. Akhirnya
kemaren dia pingsan. Kata
dokter harus diopname.”
”Rumah Sakit mana, Bi?”
”Medistra.”
”Makasih ya, Bi.”
Rama menutup telepon dan bergegas meraih kunci
motornya. Ia berharap Vian masih mau memaafkannya. Semoga saja masih ada tempat
untuknya di hati Vian.
Rama membuka pintu ruangan tempat Vian dirawat. Vian sedang tidur. Badannya tampak
kurus. Jarum infus menancap di tangannya.
”Rama.” sapaan mama Vian mengalihkan pandangan
Rama.
”Vian sakit apa, Tante?”
”Cuma kelelahan.”
Syukurlah, batin Rama. Ia sudah berpikir yang
bukan-bukan. Mama Vian keluar dan meninggalkan mereka berdua. Rama tak mau
membangunkan Vian walaupun perasaan rindunya memuncak. Rama menyentuh tangan
Vian lembut.
”Maafin aku, Vi. Aku nggak
bermaksud membuat kamu begini. Ternyata aku memang nggak bisa jauh dari kamu. Aku sudah membuat pilihan
dan aku harus membayarnya dengan impianku. Di negeri sendiri pun aku masih bisa
menjadi sastrawan. Aku nggak akan ke Paris.” Rama merebahkan kepalanya di sisi
Vian.
”Aku akan kuliah di sini. Dan aku nggak akan
pernah membayarnya dengan cinta. Kamu harus yakin itu, Vi.” tambah Rama.
Tangan Vian bergerak.
”Ram, aku dengar semuanya. Aku tau
kamu nggak akan ninggalin aku.”
Rama mengangguk.
”Gimana dengan Paris?”
Rama menggeleng.
”Kalo Shakespeare?”
”Aku nggak akan jadi Shakespeare,
Vi. Aku akan jadi diri sendiri di negeri sendiri.
Vian mengelus kepala Rama. Sebentuk kristal
meluncur dari sudut matanya.
”Aku sayang kamu,” ujar Rama.
”Aku juga.”
Rama memeluk Vian erat.
Padang, 19 Agustus 2006 01:48
No comments:
Post a Comment