Saturday, 21 February 2015

Seri Glucola MCI: Healing Crisis

Pada postingan sebelumnya sudah kita bahas apa itu Glucola dan apa manfaatnya. Nah, sekarang kita akan bahas apa yang terjadi pada saat kita mengkonsumsi Glucola. Sebenernya sih ini gak hanya terjadi pada orang-orang yang mengkonsumsi Glucola saja. Bisa pada pemakaian produk herbal lainnya juga.

Yuk dibaca mengenai Healing Crisis.
Cekidot


HEALING CRISIS


Bagi sebagian orang, setelah mengonsumsi produk herbal terkadang mengalami satu/beberapa reaksi tidak nyaman yang disebut “Healing Crisis” atau juga tindak balas.
Hal ini adalah pertanda baik, menandakan bahwa produk herbal yang dikonsumsi bekerja dengan cepat di tubuh Anda.
Biasanya yang langsung merasakan tindak balas/reaksi positif ini adalah mereka yang mengidap suatu penyakit tertentu sejak lama.
Healing crisis/tindak balas merupakan BAGIAN dari proses penyembuhan dimana tubuh memanfaatkan unsur herbal yang dipakai untuk mempercepat penyembuhan. Walaupun merupakan proses yang tidak nyaman, tindak balas bukanlah efek samping karena efek samping merupakan reaksi tubuh MENOLAK pengobatan yang diberikan.

Di bawah ini adalah healing crisis/tindak balas yang mungkin terjadi setelah anda mengonsumsi produk Glutathione.

Reaksi dan sebab-sebabnya:

1. Demam ringan atau badan terasa panas.
Sebabnya karena peningkatan peredaran darah yang menyebabkan metabolisme badan meningkat dan hawa tubuh dilepaskan, sehingga suhu tubuh meningkat.

2. Demam, gelisah, susah tidur.
Dikarenakan pembakaran lemak yang berlebihan ditukar ke dalam bentuk energi.

3. Kotoran berwarna hijau kehitam-hitaman.
Ini sebagai bentuk proses detoksifikasi yang dilakukan oleh Glutathione.

4. Sering buang angin, dada sakit.
Hal ini dikarenakan sistem pencernaan yang lemah.

5. Mengantuk, badan terasa lelah.
Darah beracun, fungsi hati yang terganggu, terlalu letih dan terlalu banyak mengkonsumsi obat dan bahan kimia.

6. Pusing, lemah, dan selalu lapar.
Mereka yang menghadapi hipoglikemia (adalah suatu keadaan dimana kadar gula darah (glukosa) secara abnormal rendah atau anemia) biasanya akan mengalami healing crisis seperti ini. Lemak akan dibakar dan kadar gula dalam darah menurun.

7. Diare, buang-buang air besar. 
Jika mengalami ini, berarti kamu mengalami gangguan pencernaan. Glutathione membantu dalam proses detoksifikasi.

8. Sembelit, buang air besar mengeluarkan darah. Berarti kamu mengidap wasir, kurang serat, air dan mineral.

9. Jerawat, bintik-bintik merah, berkeringat. Jantung lemah, terdapat toksin yang berlebihan di dalam tubuh.

10. Haid atau menstruasi yang tidak teratur. Artinya, terdapat ketidakseimbangan hormon dalam tubuh.

11. Hidung berair, asma, batuk-batuk. Perokok, fungsi respirasi (pernafasan) lemah.

12. Bengkak pada wajah dan kaki, Berat badan naik. Fungsi ginjal dan hati yang lemah.

13. Tangan dan kaki terasa kaku. Peredaran darah lemah, kekurangan kalsium.

14. Inflamasi, rasa sakit pada luka lama lebih terasa. Peredaran darah sedang meningkat untuk memperbaiki jaringan / luka.

TINDAK BALAS MEMBANTU MEMPERCEPAT PENYEMBUHAN
Ya benar, reaksi tindak balas memang membantu mempercepat proses penyembuhan.
Namun ini juga bukan berarti jika tidak ada tindak balas, penyembuhan akan jadi lama. Bukan demikian.

Semua orang memiliki kondisi metabolisme berbeda, maka ada orang yang memperlihatkan reaksi tindak balas dan ada juga yang tidak. Lain halnya dengan reaksi efek samping, reaksi tidak nyaman karena efek samping akan memperparah kondisi Anda.

Nah, setelah mengetahui perbedaan antara efek samping dengan tindak balas, atau bisa juga disebut dengan “Healing Crisis”, kiranya kamu tidak akan gampang panik lagi dan tergerak untuk berhenti dari pengobatan alami kamu. Tapi sekali lagi, segera konsultasikan ke pakarnya ketika reaksi tindak balas ini muncul.

Catatan :
Healing Crisis diatas berbeda-beda pada tiap orang. Lamanya, kapannya dan derajatnya tergantung pada kondisi masing-masing. Bahkan ada yang tidak merasakan apa-apa kecuali semakin sehat dan bugar. Ketika Anda bergerak menuju keadaan yang lebih sehat dengan penyembuhan alami dan nutrisi yang lebih baik, penyembuhan mulai terjadi. Sebagai bagian dari proses penyembuhan, tubuh mulai melemparkan atau mengeluarkan racun buangan yang telah lama tertimbun dalam tubuh selama bertahun – tahun.
Proses penyembuhan biasanya tidak terjadi tanpa akibat. Selama proses awal penyembuhan, ketika tubuh kamu mulai membersihkan “rumahnya” (detoksifikasi) dan energy vital kamu mulai membaik dan membangun kembali organ internal, kamu mungkin mengalami sakit kepala, perasaan tidak nyaman, gejala seperti flu dan capek.

Jadi, jika mengalami hal seperti di atas saat mengkonsumsi glucola, sebaiknya tetap dilanjutkan. Karena penyembuhan sedang berjalan.

Mau info lebih lanjut tentang Glucola?
Silahkan invite PIN BBM 54214CC5

Friday, 20 February 2015

Seri Glucola MCI: Apa itu Glucola?

Sekarang lagi booming yang namanya produk kesehatan yang mengandung Glutathione. Salah satunya Glucola dari MCI.

Apa itu Glucola?
Jika kamu termasuk orang-orang yang memiliki pola makan gak sehat, sudah mulai masuk usia 30, gaya hidup tidak sehat, suka merokok, minum alkohol, tidur malam, stress tinggi, workholic, maka kamu akan jadi salah satu yang kudu coba glucola.

Kenapa Glucola?
Kandungan glutathione dalam Glucola adalah salah satu jawaban kenapa kamu wajib coba.

Glutathione sebagai master antioxidant mampu menjadi tameng/baju zirahmu dalam melawan bahaya radikal bebas, toxid-toxid yang berkeliaran di dalam/luar tubuhmu.
Pada dasarnya setiap manusia dapat memproduksi glutathione-nya sendiri, namun seiring bertambahnya usia, gaya hidup yang tidak sehat seringkali membuat hati sulit menghasilkan glutathione yang cukup untuk melawan zat bahaya yang tidak dibutuhkan tubuh.
Makanya tidak heran, mereka yang terkena penyakit kronis, termasuk mereka yang sulit memiliki keturunan ditemukan kadar glutathione dalam tubuh mereka sangat rendah.
Kadar glutathione terendah ditemukan pada pasien kanker dan diabetes. Mengkonsumsi minuman nutrisi seperti Glucola akan membantu tubuhmu mampu memaksimalkan glutathione dan membuang racun dalam tubuh kita.

Apakah kita harus mengkonsumsi Glucola selamanya?
Tentu tidak. Seperti halnya tanaman, ketika sudah cukup pupuk, boleh dikasih jeda waktu. Namun tentu kita harus tetap merawatnya bukan? Karena itu, sembari minum glucola tetap perbanyak air putih, buah dan sayur. Ubah gaya hidupmu menjadi gaya hidup sehat. Glucola akan membantu mendetox semua racun-racun, logam berat yang tidak dibutuhkan tubuhmu.

Glucola juga membantu membuang zat yang tidak dibutuhkan tubuh. Glucola berkemampuan mengikat lemak sehingga banyak sekali testi Glucola yang juga membantu penurunan berat badan.
Pada beberapa pasangan yang mengkonsumsi Glucola, memberikan harapan untuk memperoleh keturunan. Peningkatan kadar glutathione pada testikal akan meningkat.

Mau coba Glucola?
Silahkan order di PIN BBM 54214CC5


See you on my next post

Tuesday, 17 February 2015

Renungan: Mubadzir dan Israf

Selamat pagi!
Semangat pagi!
 
Hal pertama yang dilakukan ketika sampai di kantor adalah "buka e-mail". Udah jadi kebiasaan. Switch on komputer dan langsung buka e-mail kantor. Merah yang berarti belum dibaca dan mesti di-cek satu-satu.
 
Email yang cukup memberikan pencerahan pagi ini, e-mail Renungan Harian dari KaBar Islam, media informasi muslim di kantor.
 
Yuk dibaca, semoga memberikan ilmu dan pencerahan.
 
Mubadzir dan Israf
 
Kata mubadzir kayaknya udah familiar ya di telinga kita. Tapi Israf? Saya pribadi sih nggak tau apa itu Israf. Baru tau ya waktu baca email renungan ini. Dan saya mau sharing disini.
 
Apa sih Israf itu?
Menggunakan harta melebihi kebutuhan disebut Israf, dan menggunakan harta secara tidak layak disebut tabdzir.
 
Orang yang berlebihan membelanjakan harta diluar kebutuhan nafkah, disebut israf dan tabdzir.
 
Agar mudah memahami, sebagai gambaran, orang yang membeli baju dan makanan yang harganya sangat mahal disebut israf. Baju dan makanan adalah bagian dari nafkah. Tapi ketika itu berlebihan, tergolong israf.
 
Membeli kendaraan adalah bagian dari nafkah. Namun ketika seseorang mengoleksi banyak kendaraan dengan berbagai macam jenis, hanya untuk memuaskan hobi, ini termasuk israf.

Semua penggunaan harta untuk kegiatan maksiat, tergolong mubadzir. Pelakunya teman setan. Jadi menggunakan harta untuk maksiat, termasuk penggunaan harta diluar batas sewajarnya, itu mubadzir.
 
Semua penggunaan harta untuk merusak badan dan mengganggu lingkungan, itulah tabdzir. Karena merusak badan termasuk maksiat. Tak terkecuali rokok.
 
So, kalo ada yang ngelarang kamu ngerokok, bukan berarti membatasi hak azazi seseorang, coba pikir positifnya. Rokok dibeli pake uang, abis itu dibakar, dihisap, habis. Racun masuk ke tubuh. Belum lagi lingkungan jadi tercemar, makin banyak perokok pasif. Merugikan diri sendiri dan orang banyak kan?
 
Menggunakan harta untuk menyia-nyiakan waktu, ini maksiat. Sehingga tergolong mubadzir. Termasuk menghabiskan harta untuk PS.
 
Segini dulu yaah, see you on my next post
 
 

Monday, 16 February 2015

Hidup: Sebuah Perjalanan Menaiki Kereta

Sebenarnya apa yang ditulis di bawah ini adalah hal yang sudah sama-sama kita tau dan kita pahami. Tapi saat membacanya, tetap saja mengharukan dan menyadarkan kita bahwa hidup di dunia ini hanya sementara, dan kita harus melakukan yang terbaik. Do your best. Untuk diri kita, untuk lingkungan, dan untuk orang-orang yang kita sayangi. Saat nanti kita sudah tidak ada, orang akan mengenang kebaikan dari kita, mengingat hal-hal baik yang kita lakukan.

Tapi hal yang paling saya pahami dari tulisan ini adalah kegalauan saya saat ini. Kegalauan karena perasaan tersakiti. Membaca tulisan ini menyadarkan saya bahwa saya harus memaafkan dan melupakan kesalahan orang. Dan yang terpenting berusaha untuk tidak menyakiti perasaan orang lain.

Silahkan dibaca, semoga bermanfaat


Hidup bagaikan sebuah perjalanan menaiki kereta. Dengan stasiun-stasiun pemberhentiannya. Dengan perubahan-perubahan rute perjalanan. Dan dengan peristiwa-peristiwa yang menyertainya.

Kita mulai menaiki kereta ini ketika kita lahir. Orangtua kita yang memesankan tiket kita. Kita menduga bahwa mereka akan selalu bersama kita dalam perjalanan kereta ini. Namun, di suatu stasiun, orangtua kita akan turun dari kereta dan meninggalkan kita sendirian dalam perjalanan ini.

Waktu berlalu...
dan penumpang lain akan menaiki kereta ini.
Banyak diantara mereka akan menjadi orang yang berarti dalam hidup kita. Pasangan kita, teman-teman, anak-anak, dan orang-orang yang kita sayangi.
Banyak diantara mereka yang akan turun dari kereta selama perjalanan ini. Dan meninggalkan ruang kosong dalam hidup kita.
Banyak diantara mereka yang pergi tanpa kita sadari.
Bahkan, kita tak sadar dimana mereka duduk dan kapan mereka meninggalkan kereta.

Perjalanan kereta ini akan penuh dengan suka cita, duka, impian, harapan, ucapan "halo", "selamat tinggal", dan perpisahan.

Perjalanan yang indah akan diwarnai dengan saling menolong, saling mengasihi dan hubungan baik dengan seluruh penumpang kereta.
Dan memastikan bahwa kita memberi yang terbaik agar perjalanan mereka nyaman.

Satu misteri dalam perjalanan yang memesona ini adalah:
Kita tak tahu di stasiun mana kita akan turun.

Maka kita harus hidup dgn cara yg terbaik: 
menyesuaikan diri, memaafkan, dan melupakan kesalahan orang.
Dan memberikan yang terbaik yang kita miliki.

Sangatlah penting untuk melakukan ini.
Sebab, bila tiba saatnya bagi kita untuk meninggalkan kereta, kita harus meninggalkan kenangan indah bagi mereka yang meneruskan perjalanan di dalam kereta kehidupan.

Terima kasih Anda telah menjadi salah satu penumpang istimewa di dalam kereta kehidupanku.
Aku tak tahu kapankah aku akan tiba di stasiunku.
Mari kita saling ta'awun dan saling mendo'akan 
( Barakallahufiikum )
Amin...


Do your best and see you on my next post :)


Tulisan ini dicopy dari group whatsapp MCI Leader yang di-share oleh salah satu rekan saya.



Sunday, 15 February 2015

MELANKOLIS Yang Sempurna

Seorang Sanguinis yang spontan, lincah dan periang bukan berarti tidak punya perasaan.
Seorang Koleris yang suka petualangan, persuasif, dan percaya diri bukan berarti pula dia terlalu bangga akan diri sendiri.
Seorang Phlegmatis yang ramah, damai, sabar, dan puas dengan keadaannya pun bukan berarti orang yang tidak punya ambisi dan keinginan dalam hidupnya.
Begitu pula seorang Melankolis yang penuh pikiran, setia, tekun, bukan berarti dia tidak bisa menerima sesuatu yang dianggapnya tidak benar.


Tidak ada yang salah dengan "Melankolis yang Sempurna"

Terlahir dengan kepribadian Melankolis Sempurna adalah sebuah hal yang mungkin patut saya syukuri, tetapi juga hal yang harus selalu diperhatikan agar semuanya seimbang.

Tidak semua orang Melankolis punya watak yang benar-benar sama. Karena tingkat melankolis itu berbeda walaupun pada dasarnya sama. Hanya ada satu saya. Dan hanya ada satu anda. Tiap orang itu unik dan punya karakter masing-masing.

Saya memahami diri saya sendiri, bagaimana sifat dan karakter saya. Setiap kepribadian pasti memiliki kekuatan dan kelemahan di dalamnya. Sebagai seorang Melankolis, saya paham ada kekuatan yang yang bisa saya kembangkan, tetapi juga ada kelemahan yang harus saya perjuangkan agar tidak menjadi momok yang membuat saya jatuh.

Melankolis yang Sempurna umumnya orang yang :
  • mendalam dan penuh pikiran. Kedalaman untuk melihat ke hati dan jiwa kehidupan.
  • analitis. Kemampuan untuk menganalisa dan sampai pada pemecahannya.
  • serius dan tekun
  • berbakat dan kreatif
  • artistik dan musikal
  • filosofis dan puitis
  • menghargai keindahan
  • perasa terhadap orang lain, sensitif
  • suka berkorban
  • penuh kesadaran
  • idealis

Mendalam dan Penuh Pikiran
Seorang Melankolis yang Sempurna adalah seorang introvert, mendalam, penuh pikiran, dan bisa melihat masalah sebelum terjadi (orang lain kadang menilai ini adalah suatu sikap yang terlalu cepat menilai sesuatu). Dia hanya terbuka pada orang yang memang dianggapnya pantas untuk tahu tentang dirinya. Orang Melankolis selalu menginginkan inti persoalan dan menggali kebenaran isinya. 

Dalam suatu hubungan, saya biasa melihat suatu masalah yang mungkin memang belum terjadi. Biasanya saya akan mulai menganalisa dan sampai pada kemungkinan yang akhirnya saya sampaikan ke pacar saya. Tetapi pacar saya menganggap saya terlalu cepat menilai dan berpikir negatif. Saya nggak menganggap itu berpikir negatif, tetapi pemikiran itu muncul dari analisa saya dan dengan mempertimbangkan banyak hal ke depan, tidak hanya dari sudut pandang saya sendiri. Saya memikirkan pandangan orang lain, dan juga penilaian orang lain terhadap masalah itu. Tapi pemikiran saya yang mendalam selalu menjadi masalah buat pacar saya. Saya yang dengan ambisi menggebu, dan ingin semuanya serba cepat dan tepat, tidak sabaran, menjadi masalah buat seorang Phlegmatis yang damai, tenang, nrimo, dan sedikit pesimis. 

Tertib, Terorganisasi, Teratur, dan Rapi
Dalam hal pekerjaan, kepribadian Melankolis yang Sempurna ini menguntungkan. Karena saya bekerja berorientasi pada jadwal, perfeksionis, detail, dan belum akan berhenti jika belum selesai. Satu hal lagi, saya memikirkan yang mungkin orang lain belum pikirkan.

Melankolis yang Sempurna selalu menginginkan lingkungan yang rapi. Hal ini kadang membuat saya sedikit bossy kalau di rumah. Melihat sesuatu yang tidak pada tempatnya, adik saya pasti akan kena sasaran dari omelan saya. Dan perintah pun meluncur. Karena buat saya A adalah A, tidak bisa menjadi B. Idealis sekali.

Keteraturan yang terlihat dari orang Melankolis yaitu susuan baju di lemari. Hehhe.. Saya menyusun baju-baju berdasarkan jenisnya dan sangat teratur. Bahkan lipatan pakaian pun persis sama. Hal seperti ini tidak akan terlihat pada seorang Sanguinis.

Perfeksionis
Sedikit banyak hal ini memang ada dalam diri saya. Tetapi bukan berarti saya tidak bisa toleransi terhadap sesuatu. Ketika saya merasa sesuatu layak dilakukan, itu layak dilakukan dengan benar. Tidak menjadi soal secepat apa saya bisa melakukannya, tapi sebaik apa saya melakukannya. Tapi kadang-kadang saya memang gak sabaran, gak bisa ngeliat sesuatu bergerak lamban. Ini perpaduan Melankolis yang sempurna dan Koleris yang kuat dalam diri saya.

Saya memang menginginkan suatu hubungan yang sempurna walaupun tidak ada yang sempurna di dunia ini. Bagi saya, suatu hubungan yang sempurna adalah hubungan yang saling mendukung satu sama lain. Saling terbuka dan saling menutupi kekurangan masing-masing.

Pernah saya jatuh hati pada seorang laki-laki karena saya merasa dia penyayang dan pemikirannya mengimbangi emosi dan pemikiran saya. Saat itu saya hanya berpikir jika kita menjalin hubungan, kita berencana ke depan, saya memikirkan rencana jangka panjangnya, semuanya akan baik-baik saja. Semua kepribadian melankolis saya muncul dalam hubungan ini. Ketika dia tidak bekerja, saya selalu support dia. Memberikan perhatian, memberikan dukungan moril, dan tidak menuntut untuk dapat selalu bertemu. Jika dia tidak memungkinkan untuk ketemu saya, maka saya yang akan menemuinya. Bahkan saya memikirkan beberapa kemungkinan yang terjadi jika kami akan melanjutkan hubungan itu. 

Saya mendalam dengan perasaan. Banyak hal yang saya tolerir. Di saat seorang Melankolis yang Sempurna menginginkan pasangan dan keluarga yang ideal, saya berusaha untuk menyempurnakan kekurangan dalam hubungan kami. Di saat seorang wanita meninggalkan kekasihnya karena tidak bekerja sementara usia sudah saatnya untuk berkeluarga, saya membangun mimpi dengan ketiadaan itu.

Semua sisi melankolis saya keluar. Saya yang serius bertemu dengan seorang Phlegmatis yang tenang dan santai membuat saya merasa bergerak lamban sekali dalam hal apapun. Sehingga saya sering menanyakan hal yang mungkin menurut dia simpel dan nggak perlu dibahas berkali-kali. Ini sungguh bikin saya tertekan dengan pikiran sendiri. Seorang Phlegmatis selalu tidak menganggap serius rencana rumit seorang Melankolis.

Disaat yang sama kadang muncul sensitivitas yang tinggi ketika saya merasa apa yang saya lakukan ternyata tidak dihargai seperti apa yang saya pikirkan. Air mata sangat mudah sekali menetes, dan berkali-kali. Memang suatu perjuangan jika mempertahankan hubungan dengan seorang Phlegmatis yang santai dan introvert, yang bahkan kita nggak pernah tau apa yang ada di pikirannya.

Tak hanya Melankolis, saya sadar memiliki sedikit kepribadian Koleris yang Kuat. Sedikit dominan dan bersifat memimpin, aktif. Koleris ini kadang muncul di saat yang tepat, seperti dalam hal pekerjaan. Melankolis mengerjakan dengan sempurna dan sisi Koleris mengerjakannya SEKARANG. Perpaduan yang pas di saat yang tepat tapi kadang terlihat terburu-buru dan nggak sabaran seperti kata pacar saya dulu. Hehhe

Hal yang mungkin kadang tidak disadari oleh seorang Melankolis yaitu mereka juga emosional. Pada tingkat tinggi, mereka lebih tinggi. Pada tingkat rendah, mereka lebih rendah. Jadi terlihat tidak stabil. Pada saat emosi tinggi bisa marah luar biasa hebatnya dan di ambang akhir tiba-tiba menangis. Itulah saya.

Pernah suatu hari saya melihat pacar saya berbalas komen di social media dengan seorang perempuan. Komen itu seperti mereka kenal dekat dan perempuan itu seolah mengarah kepada ketertarikannya pada pacar saya. Hal itu membuat saya marah dan emosi, saya merasa sudah terkhianati. Pacar saya yang Phlegmatis menganggap itu hal yang biasa dan simpel. Karena buat dia itu bukan hal yang serius yang harus dipikirkan, karena dia merasa tidak ada yang salah dengan hanya berbalas komen. Tapi buat seorang Melankolis yang sempurna itu akan jadi beban pikiran, mendalam, dan akhirnya jadi tertekan, emosi meluap dan saya menangis.

Begitulah kepribadian seorang Melankolis yang sempurna dengan sedikit sentuhan Koleris yang kuat. SAYA. Dapat disimpulkan saya itu orang yang mendalam, pemikir, serius, sensitif, agak emosional, perfeksionis tapi tetap ada toleransi, suka berkorban, perhatian, belas kasihan, terperinci dan ekonomis, suka menyimpan kenangan bahkan inget tanggalnya, bisa mengingat persis suatu kejadian, menginginkan pasangan yang ideal, dan sejujurnya agak sulit untuk memaafkan jika tersakiti.

Yakinlah tidak ada yang salah dengan Melankolis yang sempurna.
Tidak juga dengan Sanguinis yang populer, Koleris yang kuat, dan Phlegmatis yang damai. Seharusnya semua itu saling melengkapi.


See you on my next post

Friday, 13 February 2015

Luka Dira

Buka-buka file cerpen lama dan baru ngeh kalau pernah bikin cerpen ini. Saat hati galau dan terpuruk terlalu dalam kayaknya harus baca ini (buat diri sendiri).  Ide cerpen ini berangkat dari sebuah kisah nyata yang pernah saya baca, seseorang dengan depresi stadium tinggi yang mengakibatkan penyakit yang lebih parah sampai dengan menciutnya tulang-tulang dan lumpuh.


LUKA DIRA

Kamar Dira membeku terpaku bisu. Begitu juga hatinya yang menelan kecewa yang sangat dalam, sedalam cintanya. Rasa cinta yang bertengger, merayap naik, lalu terbang. Entah dimana saat ini. Ditatapnya langit-langit kamar nan putih. Pikirannya melayang jauh pada masa itu. Masa rasa itu hancur, menerjang daan menghadiahkan penyakit ini padanya. Kalau melihat keadaannya yang seperti saat ini, tentu Ben akan tertawa sangat keras, menertawakan dirinya yang begitu rapuh. “Ternyata kamu begitu rapuh. Tak sekuat kata-katamu,” itulah kira-kira yang akan dikatakan Ben. Sungguh menyakitkan.
Ben. Lelaki hitam manis yang dikenalnya ketika sama-sama berlibur di Bandung. Ternyata dunia ini memang kecil. Semudah itu ditemukan rantai pertemanan yang bahkan dirasakan tak mungkin mengingat mereka tinggal sangat berjauhan. Ternyata ada saja keadaan yang membuat mereka bertemu. Mereka dikenalkan oleh teman lama Dira yang juga teman Ben.
Sejak awal, Dira sudah simpatik pada Ben. Sikapnya yang sopan, sangat jauh dari kesan angkuh, apalagi brengsek. Belum lagi perhatiannya. Wuih, membuat cewek-cewek terbang melayang seperti yang dirasakan Dira. Yang paling mengesankan, senyumannya. Maut. Menggetarkan hati siapa saja yang melihatnya. Didukung pula oleh sosok tinggi tegapnya.
“Aku janji nggak akan pernah nyakitin kamu,” ujar Ben ketika Dira masih ragu menerima cintanya waktu itu. Pada saat itu juga sebenarnya Ben telah menggenggam sebagian besar hati Dira. Tidak diragukan lagi, perasaan Dira berlonjak-lonjak, melompat-lompat seperti gendang yang ditabuh dengan irama dangdut riang. Hanya saja Dira tak memamerkannya pada saat itu. Tak mungkin ia akan membuat harga dirinya sebagai wanita jatuh di hadapan Ben. Dan tak mungkin pula ia akan berubah menjadi gadis pengemis cinta.
“Kamu punya banyak keistimewaan yang membuat siapapun akan tertarik padamu. Aku sungguh beruntung bisa memilikimu…” dan banyak lagi sanjungan serta rayuan gombal yang meluncur dari bibir Ben. Begitu pandai dia menaklukkan hati perempuan. Dira sungguh seperti seorang gadis paling beruntung yang dipinang pangeran berkuda putih, seperti khayalan masa kecilnya.
Rasa percaya yang begitu besar diberikan Dira pada Ben. Seperti ia percaya pada  Ayah, Bunda, dan kakak-kakaknya. Percaya bahwa mereka sangat menyayanginya. Dan tak akan ada orang di dunia ini yang akan tega menyakitinya. Apalagi menghancurkan mimpi-mimpinya. Semua orang kan jadi payung di kala hujan dan jadi selimut ketika ia kedinginan. Semua akan melindunginya dan menjaga hatinya.
“Ben jalan sama cewek lain.” Veni kemudian berlalu meninggalkannya yang tak bisa mempercayai hal itu. “Tak mungkin. Ben sayang padaku. Dia  tak akan mengkhianatiku.” Dira mencoba menyangkal apa yang dikatakan Veni barusan walaupun hanya dalam hati. Pastilah Veni salah lihat, pikirnya. Entah sudah berapa kali Veni mengatakan hal itu. Tapi Dira tetap tak bisa percaya begitu saja.
“Berapa besar percayamu pada Ben, sebesar itu pulalah Ben memanfaatkan rasa percaya itu. Kamu bisa saja tak percaya padaku. Tapi, suatu saat kamu akan tau sendiri.” Dira tetap pada keyakinannya. Bukankah dari kecil ia tak pernah disakiti, apalagi dikecewakan. Tak seorangpun yang akan bisa. Sejak dulu, semua kasih sayang berlimpah padanya. Sebagai putri bungsu yang manis, adik yang penurut, teman yang teramat baik, dan kekasih yang setia bagi seorang Ben. Begitu pulalah sosok Ben di matanya.
“Setinggi-tingginya bangau terbang, suatu saat akan jatuh juga.” Veni begitu transparan menyampaikan ketidaksukaannya pada  Ben. “Apakah Veni iri padaku?” tanya Dira dalam hati. Ah, sudahlah. Rasa percaya itu telah begitu lama dibangunnya. Tak akan goyah begitu mudahnya.
Rupanya itu kesalahan besar. Rasa percaya itu berubah menjadi momok yang menakutkan. Menjadi bayang-bayang hitam yang tiap malam mengintip di balik jendela kamarnya. Lalu lalang seperti ketakutannya.
Keyakinan bahwa tak seorangpun kan berniat menyakitinya telah mengubur Dira hidup-hidup pada kenyataan. Dalam, sedalam rasa percaya yang telah dibangunnya selama ini.
Dira merasa tiap dinding kamarnya mengejek bahkan mencibir. Pepohonan yang dilintasinya tiap menuju kampus seolah tertawa, menertawakan kebodohannya. Pada siapa ia akan menceritakan semua ini?
Di mata Ayah dan Bunda, Dira bukanlah gadis manja dan cengeng meskipun dia dibesarkan dengan limpahan kasih sayang dan kemanjaan. Apalagi sejak ia kuliah jauh dari rumah dan keluarga. Semua yakin kalau Dira mandiri dan mampu mengatasi apapun masalah yang dihadapinya. Bagaimana mungkin menuangkan kekecewaan pada mereka? Gengsi itu ternyata merajai semua sisi otaknya. Meskipun hanya pada Ayah dan Bunda. Tentu begitu juga pada kak Fera, kak Dilla, dan bang Febri. Mereka akan menganggap Dira-nya lemah.
Veni, gumam Dira. Kemudian hatinya menolak tak mungkin. Malu. Selama ini ia tak mendengarkan semua nasehat Veni. Pasti Veni akan menertawakannya. “Mengapa kau tak pernah percaya padanya?” hati kecil Dira pun ikut menghujat ketololannya.
Tiap tengah malam, Dira tersentak, tergeragap. Perasaan aneh menyergap tiap relung hatinya. Pagi datang, beribu senapan bagai menghadang. Menghujam dan menghantam sisi-sisi hidupnya. Teramat dahsyat ketika ia melihat Ben bersama perempuan itu. Hatinya menggelegak. Gelembung-gelembung amarah itu melonjak-lonjak hingga tumpah ruah ke sekelilingnya. Tapi dia kembali meredam di dalam hatinya sendiri tanpa ada yang mengetahuinya. Ditambah lagi tak berapa lama kemudian ia tahu kalu Ben ternyata peminum berat. Sangat jauh dari pikirannya tentang Ben.
Di saat gelap, hening, potret bahagia berseliweran di kepalanya. Tak ada yang ikut merasakan itu. Tak ada tempat berbagi. Gengsi dan harga diri begitu tinggi hingga berucap kecewa dan patah hati juga tak mampu lagi. Semua rasa itu telah ditelannya sendiri.
Ujungnya, seperti yang terlihat saat ini, tubuh Dira terbaring lemah tak berdaya. Tangan dan kaki bagai terpaku kuat pada kayu tempat tidur. Badan seperti diberi perekat yang sangat kuat, hingga tak bisa bergerak. Kepalanya bagai diberi pemberat. Sangat sulit menegakkannya. Hanya hatinya saja yang masih berfungsi dengan benar. Merasakan semua kekecewaan yang amat sangat. Tapi lidahnya terlalu kelu untuk berucap.
Makin hari badan Dira makin kecil karena tak satupun makanan yang berhasil lolos dari kerongkongan menuju perutnya. Tirus. Tulang-tulangnya menciut. Begitu banyak tanya dan kata yang mengisi kepalanya. Mulut merenggang, tapi tak sedikitpun suara yang keluar. Dira lumpuh.
Penyakit ini telah merenggut segalanya. Venilah orang pertama dan satu-satunya orang yang saat ini bisa memahaminya, menghabiskan waktu merawat dirinya. Veni meminta izin pada Dira untuk memberitahu Ayah dan Bunda. Tapi sorot mata Dira seolah memohon untuk tidak melakukannya. Ia tak mau Ayah dan Bunda menaruh rasa kasihan padanya. Dalam situasi seperti ini masih saja menjunjung prinsip harga dirinya. Begitu beratkah mengungkapkan rasa itu? Walaupun pada orang tua sendiri?
Daun-daun diterbangkan angin hingga beberapanya masuk melewati jendela kamar. Sepertinya ikut merasakan apa yang dirasakan Dira. Merasakan kebekuan yang sangat.
Hanya mata yang mampu bergerak. Tapi, Dira takut untuk menutupnya, walaupun hanya tidur sekejap. Ketakutan itu menjalari seluruh sudut hatinya. Ia takut ketika esok harus bangun lagi, mata itu tak bisa dibuka. Mata itu akan tertutup selamanya, sehingga dia tak mampu lagi melihat warna dunia dan tawa bahagia orang-orang yang menyayanginya.
Sebuah tangan mengusap kepalanya. Dira menggerakkan mata ke kanan. Lewat sudut matanya, tampak seorang wanita separo baya duduk di sisi tempat tidur. Wajah dingin yang begitu dikenalnya. Wajah yang dulu begitu riang tiap melihatnya pulang. Wajah yang selalu menunggu kedatangannya. Butiran bening meluncur di pipi Dira melihat Bunda menatapnya pilu. “Ternyata mengungkapkan kekecewaan itu susah, Bunda. Gengsi dan harga diri itu menguasai seluruh relung hatiku,” gumam Dira dalam hati. Sorot mata Dira berucap, “Maafkan Dira, Bunda.”

Padang, 5 Februari 2006

Wednesday, 11 February 2015

Ayahku Pembunuh

Lingkungan sekitar memang sering memunculkan ide yang kadang tak terpikirkan sebelumnya. Ide cerpen lama ini juga muncul dari kejadian di lingkungan sekitar saya beberapa tahun silam. Hanya dituangkan dan dimodifikasi menjadi sebuah cerita, jadi gak sepenuhnya cerita aslinya seperti ini.



AYAHKU PEMBUNUH

Kuperhatikan orang-orang berseliweran lalu-lalang di depan rumah. Pakaian mereka, layaknya pakaian melayat ke rumah duka, lengkap dengan kampia, yang biasa dipakai untuk menaruh beras waktu melayat. Wajah-wajah itu tampak sendu. Entah karena sedih ditinggalkan oleh orang yang meninggal, atau karena iba dan prihatin pada keluarga yang ditinggalkan.
Sedikit sorot ke rumah duka, mereka merupakan keluarga yang bisa dibilang miskin. Pak Man, kepala keluarga, bekerja sebagai tukang sapu di balai, sebutan untuk pasar kecil di daerahku. Sore hari, ia mengangkati sampah-sampah di sekitar komplek untuk mencari tambahan pemasukan. Istrinya, biasa mengupas bawang di pasar. Untuk satu kilo bawang, ia hanya dapat 500 perak.
Hari ini, anak mereka yang ke tiga, meninggal dunia. Demam tinggi yang menyerangnya beberapa hari belakangan berhasil menjadi penyebab. Selain itu, ia juga dikategorikan balita kurang gizi. Saat panas badannya meninggi, disentri juga menyerangnya. Karena tidak ada biaya untuk ke dokter, ia dibiarkan terbaring di rumah yang tak bisa dibilang bersih dan bebas kuman. Tapi itulah takdir. Tak ada yang mampu menghalangi. Ia meninggal sebelum sempat ditolong oleh apa dan siapapun.
Beberapa hari sebelumnya, tetangga Pak Man juga ditinggalkan anak mereka yang berusia 3 tahun karena demam berdarah. Ia juga belum tersentuh oleh tangan dokter. Alasannya pun sama, tidak punya uang untuk biaya berobat. Aku tau cerita ini dari Mak Sani yang sudah 15 tahun bekerja di rumah kami.
“Apa Papa dan Mama tau?” tanyaku pada Mak Sani. Ia mengangguk, “Waktu anak Pak Man sakit, saya minta izin untuk membezuknya. Tapi Bapak dan Ibu bilang, mereka tidak perlu dijenguk. Salah mereka sendiri tidak memikirkan kesejahteraan anak mereka.”
“Papa bilang begitu?”
“Maaf, Non. Bukan maksud saya…”
“Iya, Mak. Saya ngerti.” Aku maklum akan jawaban papa yang sering acuh terhadap sekitarnya. Kami hidup berkecukupan, sementara untuk membantu Pak Man saja papa tak mau. Dulu papa tak begini. Perubahan sikap papa aku rasakan sejak dua tahun belakanga. Satu hal yang sulit aku maklumi, sifat keras kepala papa yang tidak bisa kami cairkan.
***
Ini tahun ke empat aku kuliah. Sebulan lagi aku akan lulus dan diwisuda. Menunggu hari wisuda, aku pulang ke rumah orang tuaku. Memikirkan sebulan tanpa berbuat apa-apa di Jakarta, menguatkan niatku untuk pulang. Papa dan mama menyambutku dengan senang. Mereka telah menyiapkan segala sesuatunya agar aku nyaman berada di rumah.
Sebenarnya aku tak pernah mempermasalahkan kenyamanan di rumah. Tapi mungkin karena pertanyaanku waktu itu membuat mereka berpikiran bahwa aku tak nyaman berada di lingkungan ini.
Kami tinggal di sebuah komplek yang bisa dibilang biasa saja untuk ukuran ayahku yang kepala cabang sebuah BUMN. “Pa, kenapa kita nggak pindah aja ke rumah yang papa beli tahun kemarin? Nggak ada yang menempati kan?” tanyaku ketika itu. Papa diam. Lalu ia membuka mulut,”Apa kamu nggak nyaman tinggal di sini? Yang tinggal di sekitar kita memang nggak selevel sama kita. Tapi kan, papa nggak suruh kamu bergaul dengan mereka.”
Aku sempat termenung mendengar jawaban papa. Alasan itu juga yang membuat papa menyediakan sebuah mobil untukku jika aku pulang. Aku bebas mau kemana saja. Tapi hatiku masih meraba-raba. Rumah yang dibeli papa tahun kemarin terletak di pusat kota dan dekat dari kantor beliau. Lingkungannya sangat kondusif untuk kegiatan apapun. Tetapi papa lebih memilih untuk tinggal di sini. Awalnya aku berpikir, mungkin papa ingin mengajarkan kami hidup sederhana dengan rumah yang biasa di lingkungan yang biasa pula. Tapi setelah mendengar jawaban dan melihat sikap papa yang sangat berbeda, aku nggak yakin akan perkiraanku sendiri.
Aku dan tiga kakakku yang jarang bertemu papa semenjak kami kuliah, membuat kami jadi tak mengerti jalan pikiran papa saat ini. Kak Indra, kakakku yang pertama, kuliah di ITB dan sekarang sudah bekerja di sebuah perusahaan IT terkemuka di Jakarta. Kak Melly, yang ke dua, sudah sepuluh tahun di Malaysia. Sejak tamat SMA hingga meraih gelar doktor, dan sekarang menjadi dosen di almamaternya.. Sedangkan Kak Roby, merintis bisnis sendiri setelah menamatkan kuliahnya di Australia. Modal yang diberikan papa berputar dengan iasg hingga hasilnya sangat memuaskan. Hanya aku yang masih kuliah. Tapi sebentar lagi aku akan menjadi seorang sarjana psikologi seperti yang aku inginkan. Dan papa berniat membiayaiku untuk S2.
“Kenapa melamun?” Mama sudah berada di sampingku. Ia memegang sebuah ias. Aku urung meraih ias itu ketika secara iasg mama memindahkan tangannya ke belakang punggung.
“Lihat korannya donk, Ma.”
“Nggak ada berita yang menarik. Kamu nggak jalan-jalan? Papa kan sudah menyediakan mobil untuk kamu. Sayang kalau nggak dipakai.” Mama mengalihkan perhatianku.
“Memangnya itu mobil siapa, Ma? Kemarin aku nggak liat mobil itu.”
            “Oh iya, Mama lupa kasih tau kamu. Mobil yang biasa kamu pakai kan sering Mama bawa. Jadi Papa beli yang baru untuk kamu. Baru dua minggu kok. Kemaren mobilnya ditaruh di rumah nenek. Garasi kita kan nggak muat untuk tiga mobil. Karena kamu lagi di sini, nanti mobil Mama di luar aja. Kan ada satpam.”
          “Sebenarnya Lia nggak terlalu butuh mobil,” hati-hati aku mengucapkannya. “Kenapa harus beli lagi sih, Ma?”
            “Itu artinya Papa iasg sama kamu.” Sudah kuduga jawaban klise itu akan keluar dari mulut mama. Aku tak tau harus ngomong apa lagi kalau mama  sudah bicara seperti itu. Sepertinya aku ini anak yang tak tau terima kasih kalau masih saja mendebatnya.
            “Mama mandi dulu ya. Mau pergi arisan. Kamu mau ikut?” Aku menggeleng. Mataku kembali menatapi jalanan yang mulai dibasahi rintik hujan. Orang-orang yang lalu lalang memakai iasg dan tampak hati-hati menapaki jalan yang agak becek. Sepertinya tujuan orang-orang hari itu sama, melayat ke rumah Pak Man.
            Aku memutar memori ke masa kecil. Dulu, papa tak begitu sibuk bekerja di kantor. Jabatannya pun masih pegawai biasa. Kami tinggal di rumah kontrakan. Setelah kak Indra SMA, papa mendapat promosi jabatan. Dan saat aku SMA, papa menduduki kursi kepala cabang. Aku cukup salut atas usaha papa. Kalau bukan karena itu, mungkin kami tak ias berkuliah di tempat yang bagus seperti yang aku dan kakak-kakakku rasakan. Tapi sekarang aku jadi rindu papa yang dulu. Papa yang sering tersenyum dengan muka berseri. Tapi sekarang, yang aku temui hanya garis muka kaku yang sepi.
            “Non, tadi Ibu pesan, nanti Non makan duluan aja. Mungkin Ibu telat pulangnya.” Gantian Mak Sani yang mengagetkanku.
            “Mama sering seperti ini ya, Mak?”
            “Maksud Non?” Wajah Mak Sani menyiratkan kebingungan.
            “Sering pergi ke luar sampai malam?” Mak Sani mengangguk, “Iya.” Dan ia kembali ke dapur.
            Dulu, mama tak pernah ke luar sampai malam. Kenapa sekarang semuanya jadi berubah? Apa fasilitas yang ada membuat mama dan papa jadi berubah? Aku meraih gagang telepon dan memencet sederet angka. Saudara perempuan memang selalu jadi tempat berbagi yang menyejukkan hatiku. Tak peduli berapa mahalnya pulsa telepon.
            “Kak,” ujarku ketika terdengar suara Kak Melly di seberang sana.
            “Ada apa, Li? Kenapa nelepon jam segini?”
            “Emang nggak boleh?”
            “Boleh, boleh. Kamu kenapa?”
            “Papa berubah, kak. Mama juga.” Aku menceritakan semuanya pada Kak Melly. Rumah baru, mobil baru, kebiasaan baru mama, sikap papa, semua.
            “Bagus donk Li, kalau kamu dibeliin mobil baru. Itu artinya papa lagi ada rezeki. Dan kamu harus menerimanya dengan senang hati.” Komentar Kak Melly.
            “Ah, Kakak nggak ngerasain sih ada di rumah. Aku tuh ngerasa ada yang beda aja. Ya suasananya, sikap papa mama, pokoknya beda, Kak.”
            “Masa sarjana psikologi, itu aja bingung,” goda Kak Melly. Aku diam. Dan sepertinya Kak Melly tau suasana hatiku.
            “Li, lusa Kakak ke Jakarta, ada urusan ke UI. Kakak ngambil cuti seminggu.” Aku tau maksudnya. Kak Melly akan pulang.
  ***
Sejak aku pulang, baru kali ini makan malam bersama mama dan papa. Aku tak tau apa yang membuat mereka punya waktu malam ini. Aku melirik jam dinding. Mungkin sebentar lagi, batinku. Kak Melly bilang, ia pulang hari ini.
Mendengar bel berbunyi, aku langsung meloncat ke arah pintu. Mama dan papa menatapku aneh.
Begitu membuka pintu, aku kaget sekali. Ternyata bukan Kak Melly. Melainkan Kak Indra dan Kak Roby. Surprise!!
“Kak Melly mana? Pasti Kakak janjian ya?” Aku menerobos tubuh mereka berdua. Tapi aku kecewa. Kak Melly nggak ada. Lama berdiri di depan pintu, akhirnya aku masuk juga. Aku melihat kedua kakakku sedang asyik bercengkrama dengan papa dan mama.
“Kamu kangen banget ya, sama Kak Melly? Sampai-sampai kita berdua dicuekin gini.” Begitu aku kembali ke meja makan, kak Roby menggodaku dengan gaya khasnya colek sana-sini.
“Kak Roby apa-apaan sih?” Aku sewot. Kak Roby malah tertawa lebar.
“Bel,” sorakku mendengar bunyi bel lagi.
“Kayak anak TK baru belajar ngenalin benda aja.” Kali ini Kak Indra yang ngomong.
“Biarin,” aku mencibir, berlari melewati ruang tengah dan membukakan pintu. Tapi aku terpaku begitu tau siapa yang datang. Belum sempat aku mengucapkan sesuatu, Kak Indra sudah berdiri di sampingku. Ia menyuruhku masuk lalu menanyakan maksud kedua orang berseragam polisi tersebut.
Meski penasaran, aku ikut saja apa kata Kak Indra. Aku meraih koran yang terselip di antara majalah-majalah politik yang biasa dibaca papa dan duduk di ruang tengah. Aku membuka halaman-halaman koran itu tak bersemangat. Tapi ketika melihat foto papa terpampang di situ, aku kaget bukan main. Walaupun kecil, gambar di foto itu begitu jelas. Aku membaca baris per baris. Aku shock. Ternyata selama ini, semua yang aku nikmati adalah hasil….. Ya Allah… sepertinya sulit aku percaya. Papa menatapku kemudian meneruskan langkahnya. Sorot mata itu begitu jelas mengiba.
Aku sungguh tak tahan melihatnya. Mataku mengikuti papa. Polisi menggiring papa ke pintu. Bertepatan dengan itu, Kak Melly datang. Aku langsung berlari memeluknya. Kak Melly membelai rambutku.
“Papa membesarkan kita dengan uang itu. Papa telah membunuh kepercayaan kita, Kak. Papa telah membunuh rasa bangga kita. Papa telah membunuh…” Aku berurai air mata.
Papa juga telah membunuh dua balita malang tetangga kita, tambahku dalam hati.
                                                                        Padang, 6 November 2007   23:42

Andai Saja...

Cerpen ini saya tulis tahun 2006. Awalnya sih karena sering denger berita tentang malpraktek. Bukan maksud menyudutkan profesi dokter, tapi pada kenyataannya memang ada dokter yang mungkin tidak memiliki ilmu yang cukup. Saya lebih melihat ke ilmunya dibanding masalah kelalaian. Tapi ini hanya cerita fiktif lho. Hanya sebuah cerpen.

Silahkan dibaca :)

ANDAI SAJA…


Tubuh kurus Pak Sam tampak seperti mengecil. Badannya kaku di ranjang Rumah Sakit. Tulang-tulangnya seperti mencuat keluar dari kulit sawo matangnya. Matanya tertutup rapat. Wajah Pak Sam tampak pucat. Padahal baru empat hari ia berada di Rumah Sakit.
Di tangan Pak Sam tertancap jarum infus. Ia tak sadarkan diri. Koma. Di sekeliling ranjang tempatnya terbaring lemah, istri beserta anak-anaknya tak lepas memandangi. Tapi, mereka semua diam. Sepertinya setiap kepala di ruangan itu sibuk dengan pikiran masing-masing.entah apa yang mereka pikirkan. Tapi, tatapan nanar mereka seolah mampu menjawab tanya yang bergulir.
Fatma, gadis berusia dua belas tahun memegangi tangan Pak Sam. Putri bungsu itu menyentuh jemari tangan ayahnya yang kaku. Tak terasa sebentuk butiran bening jatuh dari sudut matanya. Tapi ia tak terisak. Ditatapnya wajah Pak Sam. Lalu ibunya. Untunglah ibu tak melihatku menangis, batin Fatma. Ia tak mau menambah kesedian ibunya. Sesegera mungkin ia menghapus air matanya.
Sedangkan Maya, si sulung, menyentuh lembut dahi ayahnya. Ia mengusap rambut sang ayah dengan penuh sayang. Matanya berkaca-kaca.
Sepasang mata bergantian menatap mereka satu persatu. Lalu beralih pada Pak Sam. Ah, andai saja waktu itu ayah tidak ke ladang, batinnya. Andai saja ayah meminta pertolongan dokter lain. Andai saja ayah disuntik. Andai saja… entah berapa banyak andai-andai semua orang yang turut prihatin. Namun itu tak akan mengubah segalanya. Buktinya Pak Sam tetap terbaring tak berdaya di Rumah Sakit ini, pikir Hendra.
Walau hatinya menentang andai-andai itu, Hendra tetap saja memikirkannya. Ia jadi teringat lagi senja itu.
Selepas maghrib, ibu dan ayahnya ke rumah Dokter Lin. Karena kaki ayahnya sakit sekali. Katanya ada sesuatu yang menusuk ketika ia mengambil sayur di ladang. Tapi sang ayah juga tak tau apa yang menusuk kakinya.
Hendra berniat mengantarkan Pak Sam ke tempat praktek Dokter Firman, tempat ayahnya biasa berobat. Tapi, Pak Sam bersikeras berobat pada Dokter Lin.
“Sama saja kok, Hen. Dokter Lin itu kan juga seorang dokter,” ujar sang ayah waktu itu.
Walau Hendra diam, tapi ia takut obat yang diberikan Dokter Lin tidak cocok dengan ayahnya. Obat Dokter Lin berdosis tinggi. Dulu Pak Sam pernah minta obat sakit kepala pada Dokter Lin. Setelah minum obat itu, bukannya sembuh tapi muka Pak Sam malah membengkak. Ternyata obat yang diberikan Dokter Lin dosisnya tinggi. Hendra takut hal itu terulang lagi. Tapi kalau Pak Sam sudah memutuskan sesuatu, Hendra tak bisa berbuat apa-apa lagi. Ayahnya adalah seorang yang keras. Tak bisa disanggah.
Sampai dua hari Pak Sam minum obat dari Dokter Lin, Hendra tak bertanya apa-apa. Karena Pak Sam tampak sehat-sehat saja. Di hari ke tiga, tubuh Pak Sam kejang-kejang. Keluarganya segera melarikannya ke Rumah Sakit. Sejak saat itu, Pak Sam tak sadarkan diri. Sampai saat ini.
Pikiran Hendra menerawang lagi pada andai-andainya. Ah, andai saja… Hendra menatap wajah beku di depannya.
☺☺☺
“Sudah lihat Pak Sam belum, Bu?” tanya Vina pada ibunya.
“Sudah.”
“Bagaimana perkembangannya, Bu?” Vina duduk di samping ibunya yang sedang menjahit. “Pak Sam masih belum sadar,” jawab sang ibu.
“Sebenarnya Pak Sam kenapa sih, Bu?” Vina masih penasaran.
“Kata dokter, Pak Sam terkena tetanus.” Vina menatap ibunya tak mengerti.
“Bukankah waktu itu Pak Sam sudah berobat pada Dokter Lin?”
“Iya, tapi Pak Sam tidak disuntik anti tetanus.”
“Lho, kenapa bisa seperti itu?” Vina tampak heran.
“Yang ibu dengar sih, kata orang-orang Pak Sam takut disuntik.”
“Masa sih, Bu, Zaman sudah canggih seperti ini masih ada saja orang yang takut disuntik?”
“Huss, kamu nggak boleh ngomong seperti itu.” Vina diam. Ia mengerti maksud ibunya.
☺☺☺
Tubuh kaku Pak Sam tetap tak bergerak. Orang-orang di sekelilingnya tampak cemas. Maya membuka Al Qur’an dan mulai membaca Yasin.  Deg! Jantung Hendra berdetak kencang. Pikirannya berkecamuk mendengar Yasin yang dibacakan Maya. Apakah ayah sudah tak bisa tertolong lagi? Tiap mendengar Yasin ia selalu teringat akan kematian. Hendra tak tahan lagi. Ia keluar dari ruangan itu.
Langkah Hendra terhenti. Ia mendengar suara-suara yang menyebut-nyebut nama ayahnya. Ia berdiri di sudut tembok dekat bangku yang diduduki dua wanita paro baya itu. Mereka tak menyadari kalau ada seseorang yang mendengarkan pembicaraan mereka.
“Iya, Bu Nar bilang, Pak Sam sudah minta disuntik anti tetanus. Tapi Dokter Lin bilang, dalam obat yang diberikannya sudah terkandung anti tetanus. Bu Nar tak mau menceritakan hal ini pada siapa-siapa. Hanya saya dan Bu Ratna yang tau. Bu Nar juga tak mau menuntut atau bertengkar.”
Jantung Hendra berdetak makin kencang. Mengapa Ibu tak pernah bilang? Mengapa? Dada Hendra bergemuruh hebat. Mengapa ia tak pernah mengetahui cerita itu? Mengapa Ibu menyembunyikannya? Hendra tau jawabannya. Ibu tadi benar. Pastilah Ibu tak mau terjadi pertengkaran. Apalagi kami dan Dokter Lin bertetangga, batinnya.
Hendra terduduk lemas. Pikirannya kembali menerawang. Mengapa ayah menolak diantarkan ke tempat praktetk Dokter Firman? Atau, mengapa tak bersikeras saja minta disuntik? Kalau ayah bersikeras pastilah Dokter Lin akan menyuntiknya.
Hendra berdiri dan melangkah menuju kamar perawatan ayahnya. Ia membuka pintu putih itu lambat-lambat. Takut mengagetkan yang lain. Perlahan pintu itu bergeser.
Begitu pintu terbuka, Hendra malah terpaku menyaksikan apa yang terjadi. Fatma, Maya, dan Ibu menangis. Apakah ayah… Hendra bergerak cepat menuju mereka. Dilihatnya mata sang ayah telah terbuka. Ayahnya telah sadar. Ternyata Fatma, Maya, dan ibunya menangis bahagia karena Pak Sam telah sadar.
Pak Sam menatap istri dan anak-anaknya bergantian. “Saya mau disuntik,” ujarnya. Segurat senyum menghiasi wajahnya.
“Nanti akan saya sampaikan pada dokter.” Hendra memegang tangan ayahnya. Semua yang ada di ruangan itu tersenyum. Senang. Semua perhatian tertuju pada Pak Sam.
Tiba-tiba mata Pak Sam tertutup. Tangannya terkulai lemah. Tubuhnya tiba-tiba kaku. Tak ada yang bergerak. Hendra menyentuh pergelangan tangan sang ayah. Tak ada denyut. Semua wajah beku menatap Pak Sam. Tak lama berselang suara tangis pecah di ruangan itu. Pak Sam telah pergi untuk selamanya.
“Tak mungkin. Ini tak mungkin terjadi.” Hendra histeris. Ia tak bisa menahan perasaannya.
“Aku tak bisa terima. Ini pasti kesalahan Dokter Lin. Aku benci dia. Ini kesalahannya.” Hendra tak mampu menahan emosi. Sementara semua mata menatapnya tak mengerti. Dokter Lin? Apa hubungannya dengan Dokter Lin? Mereka bertanya-tanya.
“Kalau bukan karena dia tak mungkin Ayah meninggal secepat ini. Kalau dia mau menyuntik ayah…”
“Sudahlah, Nak.” Bu Nar memeluk Hendra. “Tak ada yang salah. Juga Dokter Lin. Ini takdir. Dokter Lin hanyalah seorang dokter yang tugasnya hanya mengobati sesuai ketentuannya.” Bu Nar mengusap rambut Hendra. Ah, Bu Nar memang orang yang sabar, batin Vina yang menyaksikan semua itu.
“Seandainya waktu itu ayah tidak ke Dokter Lin…” Hendra menatap ibunya.
“Tak baik berandai-andai seperti itu. Ini kehendak Tuhan. Semua sudah diatur.”
Ya, batin dua wanita yang tadi baru saja membicarakan hal ini. Kekuasaan Tuhan telah mengalahkan ilmu seorang dokter. Tak ada seorang pun yang mampu menandingiNya.


Padang, 19 Februari 2006.

Tuesday, 10 February 2015

Ada Apa Dengan Revi

Apa yang terjadi di sekeliling kita kadang memang tak luput dari perhatian. Karena memang kita hidup dalam lingkungan sosial yang harus memerhatikan satu sama lain. Begitupun cerpen ini, ditulis karena sesuatu yang terjadi di sekitar saya. Tapi tetap saja ini hanya cerpen, yang intinya tetap saja sebuah cerita. Jangan dijadikan bahan untuk diperdebatkan yaa.. hehhe..

Ini hanya tulisan remaja yang baru melihat dunia.

Selamat membaca yaah :)


ADA APA DENGAN REVI

“Udah oke belum,Ta ?”
“Udah. Oke banget malah,” Revi tersenyum manis mendengar komentar Ata.
“Emang mau kemana sih,Re?” tanya Ata lagi.
“Ada aja,” jawab Revi menirukan sebuah iklan di televisi. Ata memasang tampang kesalnya. Bikin penasaran aja ni orang, batinnya.
“Gue berangkat dulu ya…” Revi berjalan menuju pintu kamar dengan wajah innocent-nya. Ata cuma bisa memperhatikan Revi dari tempat tidurnya.
 Dari atas sampai bawah, dandanan Revi beda banget dari biasanya. Revi yang tiap harinya sporty banget, sekarang malah feminin abis. Gimana nggak bikin penasaran. Rambut sebahu yang biasa diikat, sekarang dilepas plus sebuah jepitan imut bertengger di kepalanya. Kaos oblong yang biasa nempel di badan, sekarang entah disembunyiin dimana. Yang ada malah kemeja cantik yang tentu aja rapi untuk ukuran Revi. Orang-orang yang kenal Revi pasti bingung kalau liat dia saat ini. Coba aja perhatiin, Revi yang hobi banget pakai celana jeans panjang, hari ini pakai rok. Selutut lagi. Mau tau apa yang lebih ngagetin? Sendal. Ya, Revi pake high heels. Ditambah lagi dengan satu tas kecil di tangan. Seratus delapan puluh derajat berubah.
Ata bingung juga memperhatikan ni anak. Mau nanya, ntar takutnya Revi malah jadi nggak pede ama penampilannya. Jarang-jarang kan dia dandan kayak gini. Tapi Ata masih tetap penasaran. Apa sih yang bisa bikin Revi berubah?
Sebuah tanda tanya  besar bercokol di kepala Ata.
***
Hari Minggu yang menyedihkan. Ata duduk di bangku teras rumah kost. Gini nih kalo hari libur nggak ada kegiatan. Alternatif yang segera muncul pasti ngelamun di teras depan.
“Ta, gue pergi dulu ya,” Revi muncul dengan gaya ala ceweknya.
“Ta, gue pergi dulu,” ulang Revi tepat di telinga Ata.
“Eh…oh…Lo apaan sih? Emang gue budeg apa?” Ata yang lagi ngelamun jadi kaget.
“Lo sih, ngelamun aja. Mikirin apaan sih? Segitunya, sampe nggak denger suara gue.”
“Biasalah…he…he….”
“Udah ah, gue berangkat dulu,” Revi meninggalkan Ata yang masih belum sadar betul dari lamunannya.
“Re, bawain oleh-oleh ya…” sorak Ata asal ketika Revi sampai dipagar.
“Emang lo kira gue mo kemana?”
“Ya, kali aja lo niat beliin gue sesuatu.”
“Dasar suka yang gratisan lo ya….”
“He…he…tau aja lo,” Ata cengengesan.
“Titi DiJe ya…” tambah Ata lagi.
“Titi DiJe lagi di rumahnya tuh. Lo liat aja kesana…” jawab Revi asal sambil berlalu dari pandangan Ata.
Ata kembali pada ritualnya. He…he…Sok keren banget ya, kosakatanya. Bilang aja kembali ke lamunannya. Malah jadi pengen ketawa nih. Terlalu puitis sih. Itu pantesnya buat judul sinetron aja. Ata jadi senyam-senyum sendiri. Kalau ada orang yang lewat dan merhatiin Ata pasti mereka bilang gini, “Kasian ya, tu orang. Masih muda udah gila.”
Akhirnya dengan kesadaran yang penuh Ata beranjak ke dalam. Bukan karena takut diliatin orang kalau dia lagi senyum-seyum sendiri. Tapi masalahnya cacing-cacing di perut Ata pada keroyokan minta dikasih subsidi.
***
“Ntar lo mau pergi lagi ya Re?”
“Iya. Emang kenapa?”
“Ada acara apa sih? Gue heran aja sama dandanan lo yang feminin abis “
“Ada deh…” Revi masih aja nggak serius jawabnya. Padahal Ata udah pasang tampang paling serius yang dia punya.
“Huh…gitu lo ya…pake rahasia-rahasiaan segala “
“Biarin…” Revi senang banget lihat tampang Ata yang begini. Mata tajam dengan mulut sedikit maju.
“Gue juga mo pergi kok. Lari pagi.”
“Hah?? Sejak kapan lo rela bangun pagi-pagi cuma buat olah raga? Lari pagi lagi. Biasanya kan lo nggak pernah mau gue ajakin lari pagi.”
“Pengen aja,” Ata malah bikin Revi tambah penasaran.
“Lo mau lari pagi kemana? Sama siapa? Atau ada sesuatu yang lo cari ya sambil lari pagi? Ada yang lo incar misalnya,” Revi nafsu banget nanyanya. Apalagi melihat Ata yang udah mengenakan kaos, celana, plus sepatu olah raga.
“Lo kalo nanya satu-satu donk…” Ata geli melihat ekspresi Revi saat itu. “Lo pasti penasaran ya…he..he..” tambahnya lagi.
“Pede banget sih lo bisa bikin gue penasaran,” Revi sewot.
“Hahaha…santai aja lagi. Jangan sewot gitu. Just kidding. Gue lari pagi cuma pengen cari suasana baru aja kok. Daripada bengong di kamar. Kali aja ntar ada pemandangan indah,” Ata membuat tanda kutip dengan dua jari-jari tangannya di kiri kanan kepala waktu menyebut kata pemandangan.
“Dasar ganjen. Emang lo mau kemana sih?”
“Ke GOR.”
“Sama siapa?”
“Sama Tiwi.”
“Anak baru yang di sebelah ya? Yang dari Jawa itu?”
“Iya. Sekalian nunjukin daerah GOR ke dia.” Ata memperbaiki ikatan tali sepatunya.
“Gue caw dulu ya…” Ata melambaikan tangannya ke Revi begitu melihat Tiwi sudah berada di pintu kamarnya.
***
“Ealah Mbak… Kok malah duduk tho, Mbak” tanya Tiwi dengan logat Jawa yang kental banget. Hampir aja tawa Ata meledak. Lucu banget kedengarannya.
“Cape, Wi.”
“Baru seiki kok udah cape tho. Makanya mbesok-mbesok tuh kalau pagi Mbak minum jamu dulu. Kalau Mbak mau aku bisa bikinin buat Mbak.”
“Makasih deh.”
“Yo wis. Kita duduk dulu.”
“Iki opo tho, Mbak?” Tiwi menunjuk sebuah stadion di belakang mereka.
“Itu  stadion sepak bola, Wi.”
“Ooo…tak kirain tempat pacuan kuda atau opo gitu lho…” Ata cuma tersenyum tipis.
“Orang-orang itu ngapain Mbak?”
“Senam. Ikut aja kalo kamu mau. Barisan belakang masih kosong tuh.”
“Liat itu aku jadi ingat kampung.”
“Ingat kampung?” Ata heran. Apa hubungannya senam massal sama kampung?
“Waktu tujuh belasan, aku nekad ikut lomba joged. Yo, aku goyang wae. Ora ono malu-malu. Kayak ngono lho, Mbak.” Tiwi menunjuk instruktur senam aerobik yang lagi goyang-goyang pinggul kayak goyang ngebornya Inul. Mana medoknya jelas banget lagi.
“Tapi nggak menang. Kata juri, aku kurang hot goyange,” lanjutnya.
Ata tertawa juga mendengar cerita Tiwi. Apalagi kalau denger bahasanya. Bajadul, kata Revi. Alias bahasa jaman dulu.
Ata mengajak Tiwi jalan lagi. Tiwi orangnya ceriwis juga. Apa yang dilihatnya pasti ditanyain.
Mereka sampai di halte. Ata langsung menghempaskan pantatnya di bangku halte. Tiwi memandangi bangunan di belakang mereka. Dilihat dari luarnya, kayaknya bangunan itu udah lama banget berdirinya. Bangunan itu memanjang ke belakang. Di bagian depannya tersusun bangku-bangku kayu dengan rapinya. Bangku-bangku itu terlindungi oleh sebuah canopy yang melengkung ke sisi kiri-kanannya.
Pandangan Tiwi beralih ke atas bangunan itu. Matanya sedikit melebar. Persisnya membulat. Tampak sekali ekspresi heran di wajahnya. Tepat di tengah atap bangunan itu terdapat tiang yang di ujungnya tampak ayam tiruan yang terbuat dari aluminium. Di sisi kanan bangunan itu, tepatnya di parkiran tampak seorang pria turun dari sebuah mobil. Tak lama dari pintu yang satunya keluar pula seorang perempuan muda. Tiwi mengucek matanya. Sepertinya aku kenal deh, sama tu cewek, batinnya.
Mata Tiwi beralih ke papan putih yang bertuliskan nama bangunan itu. Seketika matanya terbelalak dan mulutnya menganga.
“Kita naik bis yang ini aja,” Ata menarik Tiwi menaiki bis yang berhenti di depan mereka.
***
Angin bertiup kencang sekali malam ini. Suara angin dan atap seng yang menghempas membangunkan Ata dari lelapnya. Cahaya lampu teras remang-remang memasuki kamarnya. Klek. Tiba-tiba cahaya itu hilang. Gelap. Mati lampu. Dingin merayapi tubuh Ata. Dia segera menarik selimutnya. Suara angin kian kencang. Samar-samar Ata mendengar suara isak tangis seseorang. Bulu kuduk Ata berdiri. Siapa yang nangis malam-malam begini, batinnya.
Ata membalikkan tubuhnya ke arah tempat tidur Revi yang cuma berjarak satu meter dari tempat tidurnya. Tapi suara itu terdengar lebih keras dari yang didengarnya tadi. Ops, Ata kaget melihat apa yang terjadi. Dia berusaha memejamkan matanya walau terasa sulit sekali.
***
“Ada yang nyariin lo tuh.”
“Siapa?” tanya Revi.
“Cowok, badannya gede, kepalanya botak, kulitnya item lagi.”
“Pasti Bang Fredy.”
“Mana gue tau. Lo kan nggak pernah ngenalin ke gue. Gacoan baru ya?”
“Hehe..kapan-kapan deh, gue kenalin ke lo. Gue berangkat dulu ya…”
***
Ata memperhatikan susunan bukunya. Berantakan banget. Dibanding susunan buku Revi jelas sangat berbeda. Ata jadi semangat buat nyusun buku-bukunya. Mumpung nggak ada jadwal kuliah.
“Hhh… beres,” ucap Ata dalam hati.
Ata mengalihkan pandangannya ke rak buku Revi. Tampak kaset yang tersusun rapi pada rak bagian atas. Ata beranjak menuju susunan kaset-kaset itu. Kali aja ada yang bagus, batinnya.
“Assalammualaikum….” kepala seseorang muncul di pintu. Ata menoleh. Ternyata si Mujadul alias muka jaman dulu. Siapa lagi kalau bukan Tiwi. Ini julukan Revi yang bikin nih. Jahat ya. Masa Tiwi dibilang mujadul. Muka Jawa sih iya…Hehe..sama aja nih jahatnya.
“Ono opo tho, Mbak? Kok senyum sendiri?”
“Nggak ada apa-apa. Cuma senam wajah.”
“Senam wajah? Baru ya? Siapa yang ngajarin, Mbak?”
Aduh, ni anak lugu, tulalit, telmi, ato gimana sih? Nggak tau orang becanda apa.
“Kapan-kapan deh aku kasih tau.”
Ata meraih kaset yang ada di tengah susunan itu. Dia membaca tulisan yang ada di cover kaset .Keningnya berkerut. Ata meletakkan kaset itu kembali pada tempatnya. Pandangannya beralih pada buku-buku. Tampak beberapa novel. Dan itu… Ata meraih sebuah buku kecil yang bersampul hijau tua. Tebal banget. Apa sih, batin Ata. Dia segera membaca judulnya. Wajahnya berubah seketika.
“Ono opo tho, Mbak?” suara Tiwi mengagetkan Ata.
“Nggak ada apa-apa kok.”
“Kok muka Mbak pucat gitu? Mbak sakit ya?”
“Nggak…. Nggak ada apa-apa kok,” Ata berbohong.
“Mbak, waktu kita nunggu bis di halte kemaren aku lihat Mbak Re.”
“Revi?”
“Iya. Mbak liat nggak?” Ata menggeleng.
“Aku liat Mbak Re di bangunan yang di belakang halte.”
“Hah?? Sama siapa?”
“Sama cowok. Mereka turun dari mobil warna silver yang diparkir disitu.”
“Gimana ciri-ciri tu cowok?”
“Kepalane kayak professor gitu, Mbak. Orangnya gemuk. Item.”
Itu kan yang kemaren nyari Revi, batin Ata.
***
Malam ini penyakit sulit terlelap melanda Ata lagi. Sejak kapan gue menderita insomnia? Ata bertanya-tanya tak tentu pada diri sendiri. Terdengar suara hujan turun dengan derasnya. Disusul badai yang menimbulkan bunyi-bunyian di atap Wisma Melati. Samar-samar terdengar lagi suara tangis yang tertahan. Ata membalikkan badan. Benar. Revi menangis lagi. Kenapa?
Ata tak berani mendekatinya. Takut Revi nggak mau diganggu. Dengan rasa penasaran yang menjadi, Ata berusaha memejamkan mata. Meskipun sulit untuk bersikap acuh, Ata berusaha untuk tidak menanyakan hal-hal yang menurutnya adalah pribadi sekali bagi Revi.
***
Ata membuka pintu kamar dengan semangat. Rasa kantuk yang amat sangat telah membawa pikirannya pada kasur empuk di kamarnya.
“Hah??” Pupil mata Ata melebar seketika. Rasa kantuk yang menghantui hilang entah kemana. Apa yang terjadi? Perampokan? Nggak mungkin. Beribu tanya muncul di kepala Ata. Matanya memandang berkeliling. Barang-barangnya lengkap. Tak ada satupun yang hilang. Hanya barang-barang Revi yang tak tampak satu pun.
“Ta, ini ada titipan dari Revi,” sebuah suara mengagetkan Ata.
“Emangnya Revi kemana, Bu?”
“Pindah.” Ata jadi makin bingung. Dia meraih amplop yang diberikan ibu kos.
“Kamu tau kan orang-orang yang tinggal disini mayoritas muslim? Kalau Revi masih tinggal disini mereka takut anak-anak mereka terpengaruh,” ucap Bu Mer sebelum meninggalkan kamar Ata.
Ata makin nggak ngerti apa yang sebenarnya terjadi. Dia segera membuka amplop putih itu.

Dear Ata,
Sebelumnya gue mau minta maaf  sama lo kalo selama ini mungkin gue nyusahin lo atau gue sering bikin lo kesal. Gue tau lo teman yang baik. Lo sering ngigetin gue kalo gue salah. Tapi untuk kali ini, gue merasa inilah jalan gue. Sejak beberapa bulan yang lalu, gue bukan muslim lagi. Gue tau lo pasti kaget denger ini semua. Tapi ini gue lakuin demi kelangsungan hidup gue. Mungkin lo masih bingung. Gini Ta, Sejak beberapa bulan yang lalu, Papa nggak ngirimin uang lagi. Usaha Papa bangkrut. Otomatis gue harus berhenti kuliah. Padahal cuma tinggal satu semester lagi. Pada saat yang sama gue ketemu lagi sama senior gue di SMA dulu. Dan dia nawarin bantuan. Nggak ada pilihan lain. Gue harus nyelesein kuliah gue. Gue terima tawaran Bang Fredy.
Sejak bantuannya mengalir, gue makin deket sama dia. Dia minta temenin kemana aja, pasti gue temenin. Karena gue merasa sangat berhutang budi. Dan hari itu, hari Minggu pertama gue nemenin dia ke gereja. Cuma nemenin. Tapi lama-kelamaan gue makin sering kesitu. Dan lo pasti tau apa yang terjadi selanjutnya. Gue merasa di situlah jalan gue. Itu kehendak gue. Semua perubahan yang gue lakukan adalah keinginan Bang Fredy. Tapi gue nggak ngerasa terpaksa ngelakuinnya. Gue harap lo bisa ngerti gue.
Ata memutar kembali semua peristiwa yang terekam di kepalanya beberapa hari yang lalu. Bagaimana dia menemukan kaset rohani Kristen dan injil, dan Tiwi yang melihat Revi di gereja belakang halte.
                                                                                    Padang, 16 Oktober 2005