Buka-buka file cerpen lama dan baru ngeh kalau pernah bikin cerpen ini. Saat hati galau dan terpuruk terlalu dalam kayaknya harus baca ini (buat diri sendiri). Ide cerpen ini berangkat dari sebuah kisah nyata yang pernah saya baca, seseorang dengan depresi stadium tinggi yang mengakibatkan penyakit yang lebih parah sampai dengan menciutnya tulang-tulang dan lumpuh.
LUKA DIRA
Kamar Dira membeku terpaku bisu. Begitu juga hatinya yang menelan
kecewa yang sangat dalam, sedalam cintanya. Rasa cinta yang bertengger, merayap
naik, lalu terbang. Entah dimana saat ini. Ditatapnya langit-langit kamar nan
putih. Pikirannya melayang jauh pada masa itu. Masa rasa itu hancur, menerjang
daan menghadiahkan penyakit ini padanya. Kalau melihat keadaannya
yang seperti saat ini, tentu Ben akan tertawa sangat keras, menertawakan
dirinya yang begitu rapuh. “Ternyata kamu begitu rapuh. Tak sekuat
kata-katamu,” itulah kira-kira yang akan dikatakan Ben. Sungguh menyakitkan.
Ben. Lelaki hitam manis yang dikenalnya ketika sama-sama berlibur di
Bandung. Ternyata dunia ini memang kecil. Semudah itu ditemukan rantai
pertemanan yang bahkan dirasakan tak mungkin mengingat mereka tinggal sangat
berjauhan. Ternyata ada saja keadaan yang membuat mereka bertemu. Mereka
dikenalkan oleh teman lama Dira yang juga teman Ben.
Sejak awal, Dira sudah simpatik pada Ben. Sikapnya yang sopan,
sangat jauh dari kesan angkuh, apalagi brengsek. Belum lagi perhatiannya. Wuih,
membuat cewek-cewek terbang melayang seperti yang dirasakan Dira. Yang paling
mengesankan, senyumannya. Maut. Menggetarkan hati siapa saja yang melihatnya.
Didukung pula oleh sosok tinggi tegapnya.
“Aku janji nggak akan pernah nyakitin kamu,” ujar Ben ketika Dira
masih ragu menerima cintanya waktu itu. Pada saat itu juga sebenarnya Ben telah
menggenggam sebagian besar hati Dira. Tidak diragukan lagi, perasaan Dira
berlonjak-lonjak, melompat-lompat seperti gendang yang ditabuh dengan irama
dangdut riang. Hanya saja Dira tak memamerkannya pada saat itu. Tak mungkin ia
akan membuat harga dirinya sebagai wanita jatuh di hadapan Ben. Dan tak mungkin
pula ia akan berubah menjadi gadis pengemis cinta.
“Kamu punya banyak keistimewaan yang membuat siapapun akan tertarik
padamu. Aku sungguh beruntung bisa memilikimu…” dan banyak lagi sanjungan serta
rayuan gombal yang meluncur dari bibir Ben. Begitu pandai dia menaklukkan hati
perempuan. Dira sungguh seperti seorang gadis paling beruntung yang dipinang
pangeran berkuda putih, seperti khayalan masa kecilnya.
Rasa percaya yang begitu besar diberikan Dira pada Ben. Seperti ia
percaya pada Ayah, Bunda, dan
kakak-kakaknya. Percaya bahwa mereka sangat menyayanginya. Dan tak akan ada
orang di dunia ini yang akan tega menyakitinya. Apalagi menghancurkan mimpi-mimpinya.
Semua orang kan jadi payung di kala hujan dan jadi selimut ketika ia
kedinginan. Semua akan melindunginya dan menjaga hatinya.
“Ben jalan sama cewek lain.” Veni kemudian berlalu meninggalkannya
yang tak bisa mempercayai hal itu. “Tak mungkin. Ben sayang padaku. Dia tak akan mengkhianatiku.” Dira mencoba
menyangkal apa yang dikatakan Veni barusan walaupun hanya dalam hati. Pastilah
Veni salah lihat, pikirnya. Entah sudah berapa kali Veni mengatakan hal itu. Tapi
Dira tetap tak bisa percaya begitu saja.
“Berapa besar percayamu pada Ben, sebesar itu pulalah Ben
memanfaatkan rasa percaya itu. Kamu bisa saja tak percaya padaku. Tapi, suatu
saat kamu akan tau sendiri.” Dira tetap pada keyakinannya. Bukankah dari kecil
ia tak pernah disakiti, apalagi dikecewakan. Tak seorangpun yang akan bisa.
Sejak dulu, semua kasih sayang berlimpah padanya. Sebagai putri bungsu yang
manis, adik yang penurut, teman yang teramat baik, dan kekasih yang setia bagi
seorang Ben. Begitu pulalah sosok Ben di matanya.
“Setinggi-tingginya bangau terbang, suatu saat akan jatuh juga.”
Veni begitu transparan menyampaikan ketidaksukaannya pada Ben. “Apakah Veni iri padaku?” tanya Dira
dalam hati. Ah, sudahlah. Rasa percaya itu telah begitu lama dibangunnya. Tak
akan goyah begitu mudahnya.
Rupanya itu kesalahan besar. Rasa percaya itu berubah menjadi momok
yang menakutkan. Menjadi bayang-bayang hitam yang tiap malam mengintip di balik
jendela kamarnya. Lalu lalang seperti ketakutannya.
Keyakinan bahwa tak seorangpun kan berniat menyakitinya telah
mengubur Dira hidup-hidup pada kenyataan. Dalam, sedalam rasa percaya yang
telah dibangunnya selama ini.
Dira merasa tiap dinding kamarnya mengejek bahkan mencibir.
Pepohonan yang dilintasinya tiap menuju kampus seolah tertawa, menertawakan kebodohannya.
Pada siapa ia akan menceritakan semua ini?
Di mata Ayah dan Bunda, Dira bukanlah gadis manja dan cengeng
meskipun dia dibesarkan dengan limpahan kasih sayang dan kemanjaan. Apalagi
sejak ia kuliah jauh dari rumah dan keluarga. Semua yakin kalau Dira mandiri
dan mampu mengatasi apapun masalah yang dihadapinya. Bagaimana mungkin
menuangkan kekecewaan pada mereka? Gengsi itu ternyata merajai semua sisi
otaknya. Meskipun hanya pada Ayah dan Bunda. Tentu begitu juga pada kak Fera,
kak Dilla, dan bang Febri. Mereka akan menganggap Dira-nya lemah.
Veni, gumam Dira. Kemudian hatinya menolak tak mungkin. Malu. Selama
ini ia tak mendengarkan semua nasehat Veni. Pasti Veni akan menertawakannya.
“Mengapa kau tak pernah percaya padanya?” hati kecil Dira pun ikut menghujat
ketololannya.
Tiap tengah malam, Dira tersentak, tergeragap. Perasaan aneh
menyergap tiap relung hatinya. Pagi datang, beribu senapan bagai menghadang.
Menghujam dan menghantam sisi-sisi hidupnya. Teramat dahsyat ketika ia melihat
Ben bersama perempuan itu. Hatinya menggelegak. Gelembung-gelembung amarah itu
melonjak-lonjak hingga tumpah ruah ke sekelilingnya. Tapi dia kembali meredam
di dalam hatinya sendiri tanpa ada yang mengetahuinya. Ditambah lagi tak berapa
lama kemudian ia tahu kalu Ben ternyata peminum berat. Sangat jauh dari
pikirannya tentang Ben.
Di saat gelap, hening, potret bahagia berseliweran di kepalanya. Tak
ada yang ikut merasakan itu. Tak ada tempat berbagi. Gengsi dan harga diri
begitu tinggi hingga berucap kecewa dan patah hati juga tak mampu lagi. Semua
rasa itu telah ditelannya sendiri.
Ujungnya, seperti yang terlihat saat ini, tubuh Dira terbaring lemah
tak berdaya. Tangan dan kaki bagai terpaku kuat pada kayu tempat tidur. Badan
seperti diberi perekat yang sangat kuat, hingga tak bisa bergerak. Kepalanya
bagai diberi pemberat. Sangat sulit menegakkannya. Hanya hatinya saja yang
masih berfungsi dengan benar. Merasakan semua kekecewaan yang amat sangat. Tapi
lidahnya terlalu kelu untuk berucap.
Makin hari badan Dira makin kecil karena tak satupun makanan yang
berhasil lolos dari kerongkongan menuju perutnya. Tirus. Tulang-tulangnya
menciut. Begitu banyak tanya dan kata yang mengisi kepalanya. Mulut merenggang,
tapi tak sedikitpun suara yang keluar. Dira lumpuh.
Penyakit ini telah merenggut
segalanya. Venilah orang pertama dan satu-satunya orang yang saat ini bisa
memahaminya, menghabiskan waktu merawat dirinya. Veni meminta izin pada Dira
untuk memberitahu Ayah dan Bunda. Tapi sorot mata Dira seolah memohon untuk
tidak melakukannya. Ia tak mau Ayah dan Bunda menaruh rasa kasihan padanya.
Dalam situasi seperti ini masih saja menjunjung prinsip harga dirinya. Begitu
beratkah mengungkapkan rasa itu? Walaupun pada orang tua sendiri?
Daun-daun diterbangkan angin hingga beberapanya masuk melewati
jendela kamar. Sepertinya ikut merasakan apa yang dirasakan Dira. Merasakan
kebekuan yang sangat.
Hanya mata yang mampu bergerak. Tapi, Dira takut untuk menutupnya,
walaupun hanya tidur sekejap. Ketakutan itu menjalari seluruh sudut hatinya. Ia
takut ketika esok harus bangun lagi, mata itu tak bisa dibuka. Mata itu akan
tertutup selamanya, sehingga dia tak mampu lagi melihat warna dunia dan tawa
bahagia orang-orang yang menyayanginya.
Sebuah tangan mengusap kepalanya. Dira menggerakkan mata ke kanan.
Lewat sudut matanya, tampak seorang wanita separo baya duduk di sisi tempat
tidur. Wajah dingin yang begitu dikenalnya. Wajah yang dulu begitu riang tiap
melihatnya pulang. Wajah yang selalu menunggu kedatangannya. Butiran bening
meluncur di pipi Dira melihat Bunda menatapnya pilu. “Ternyata mengungkapkan
kekecewaan itu susah, Bunda. Gengsi dan harga diri itu menguasai seluruh relung
hatiku,” gumam Dira dalam hati. Sorot mata Dira berucap, “Maafkan Dira, Bunda.”
Padang, 5 Februari 2006
No comments:
Post a Comment