Friday, 13 February 2015

Luka Dira

Buka-buka file cerpen lama dan baru ngeh kalau pernah bikin cerpen ini. Saat hati galau dan terpuruk terlalu dalam kayaknya harus baca ini (buat diri sendiri).  Ide cerpen ini berangkat dari sebuah kisah nyata yang pernah saya baca, seseorang dengan depresi stadium tinggi yang mengakibatkan penyakit yang lebih parah sampai dengan menciutnya tulang-tulang dan lumpuh.


LUKA DIRA

Kamar Dira membeku terpaku bisu. Begitu juga hatinya yang menelan kecewa yang sangat dalam, sedalam cintanya. Rasa cinta yang bertengger, merayap naik, lalu terbang. Entah dimana saat ini. Ditatapnya langit-langit kamar nan putih. Pikirannya melayang jauh pada masa itu. Masa rasa itu hancur, menerjang daan menghadiahkan penyakit ini padanya. Kalau melihat keadaannya yang seperti saat ini, tentu Ben akan tertawa sangat keras, menertawakan dirinya yang begitu rapuh. “Ternyata kamu begitu rapuh. Tak sekuat kata-katamu,” itulah kira-kira yang akan dikatakan Ben. Sungguh menyakitkan.
Ben. Lelaki hitam manis yang dikenalnya ketika sama-sama berlibur di Bandung. Ternyata dunia ini memang kecil. Semudah itu ditemukan rantai pertemanan yang bahkan dirasakan tak mungkin mengingat mereka tinggal sangat berjauhan. Ternyata ada saja keadaan yang membuat mereka bertemu. Mereka dikenalkan oleh teman lama Dira yang juga teman Ben.
Sejak awal, Dira sudah simpatik pada Ben. Sikapnya yang sopan, sangat jauh dari kesan angkuh, apalagi brengsek. Belum lagi perhatiannya. Wuih, membuat cewek-cewek terbang melayang seperti yang dirasakan Dira. Yang paling mengesankan, senyumannya. Maut. Menggetarkan hati siapa saja yang melihatnya. Didukung pula oleh sosok tinggi tegapnya.
“Aku janji nggak akan pernah nyakitin kamu,” ujar Ben ketika Dira masih ragu menerima cintanya waktu itu. Pada saat itu juga sebenarnya Ben telah menggenggam sebagian besar hati Dira. Tidak diragukan lagi, perasaan Dira berlonjak-lonjak, melompat-lompat seperti gendang yang ditabuh dengan irama dangdut riang. Hanya saja Dira tak memamerkannya pada saat itu. Tak mungkin ia akan membuat harga dirinya sebagai wanita jatuh di hadapan Ben. Dan tak mungkin pula ia akan berubah menjadi gadis pengemis cinta.
“Kamu punya banyak keistimewaan yang membuat siapapun akan tertarik padamu. Aku sungguh beruntung bisa memilikimu…” dan banyak lagi sanjungan serta rayuan gombal yang meluncur dari bibir Ben. Begitu pandai dia menaklukkan hati perempuan. Dira sungguh seperti seorang gadis paling beruntung yang dipinang pangeran berkuda putih, seperti khayalan masa kecilnya.
Rasa percaya yang begitu besar diberikan Dira pada Ben. Seperti ia percaya pada  Ayah, Bunda, dan kakak-kakaknya. Percaya bahwa mereka sangat menyayanginya. Dan tak akan ada orang di dunia ini yang akan tega menyakitinya. Apalagi menghancurkan mimpi-mimpinya. Semua orang kan jadi payung di kala hujan dan jadi selimut ketika ia kedinginan. Semua akan melindunginya dan menjaga hatinya.
“Ben jalan sama cewek lain.” Veni kemudian berlalu meninggalkannya yang tak bisa mempercayai hal itu. “Tak mungkin. Ben sayang padaku. Dia  tak akan mengkhianatiku.” Dira mencoba menyangkal apa yang dikatakan Veni barusan walaupun hanya dalam hati. Pastilah Veni salah lihat, pikirnya. Entah sudah berapa kali Veni mengatakan hal itu. Tapi Dira tetap tak bisa percaya begitu saja.
“Berapa besar percayamu pada Ben, sebesar itu pulalah Ben memanfaatkan rasa percaya itu. Kamu bisa saja tak percaya padaku. Tapi, suatu saat kamu akan tau sendiri.” Dira tetap pada keyakinannya. Bukankah dari kecil ia tak pernah disakiti, apalagi dikecewakan. Tak seorangpun yang akan bisa. Sejak dulu, semua kasih sayang berlimpah padanya. Sebagai putri bungsu yang manis, adik yang penurut, teman yang teramat baik, dan kekasih yang setia bagi seorang Ben. Begitu pulalah sosok Ben di matanya.
“Setinggi-tingginya bangau terbang, suatu saat akan jatuh juga.” Veni begitu transparan menyampaikan ketidaksukaannya pada  Ben. “Apakah Veni iri padaku?” tanya Dira dalam hati. Ah, sudahlah. Rasa percaya itu telah begitu lama dibangunnya. Tak akan goyah begitu mudahnya.
Rupanya itu kesalahan besar. Rasa percaya itu berubah menjadi momok yang menakutkan. Menjadi bayang-bayang hitam yang tiap malam mengintip di balik jendela kamarnya. Lalu lalang seperti ketakutannya.
Keyakinan bahwa tak seorangpun kan berniat menyakitinya telah mengubur Dira hidup-hidup pada kenyataan. Dalam, sedalam rasa percaya yang telah dibangunnya selama ini.
Dira merasa tiap dinding kamarnya mengejek bahkan mencibir. Pepohonan yang dilintasinya tiap menuju kampus seolah tertawa, menertawakan kebodohannya. Pada siapa ia akan menceritakan semua ini?
Di mata Ayah dan Bunda, Dira bukanlah gadis manja dan cengeng meskipun dia dibesarkan dengan limpahan kasih sayang dan kemanjaan. Apalagi sejak ia kuliah jauh dari rumah dan keluarga. Semua yakin kalau Dira mandiri dan mampu mengatasi apapun masalah yang dihadapinya. Bagaimana mungkin menuangkan kekecewaan pada mereka? Gengsi itu ternyata merajai semua sisi otaknya. Meskipun hanya pada Ayah dan Bunda. Tentu begitu juga pada kak Fera, kak Dilla, dan bang Febri. Mereka akan menganggap Dira-nya lemah.
Veni, gumam Dira. Kemudian hatinya menolak tak mungkin. Malu. Selama ini ia tak mendengarkan semua nasehat Veni. Pasti Veni akan menertawakannya. “Mengapa kau tak pernah percaya padanya?” hati kecil Dira pun ikut menghujat ketololannya.
Tiap tengah malam, Dira tersentak, tergeragap. Perasaan aneh menyergap tiap relung hatinya. Pagi datang, beribu senapan bagai menghadang. Menghujam dan menghantam sisi-sisi hidupnya. Teramat dahsyat ketika ia melihat Ben bersama perempuan itu. Hatinya menggelegak. Gelembung-gelembung amarah itu melonjak-lonjak hingga tumpah ruah ke sekelilingnya. Tapi dia kembali meredam di dalam hatinya sendiri tanpa ada yang mengetahuinya. Ditambah lagi tak berapa lama kemudian ia tahu kalu Ben ternyata peminum berat. Sangat jauh dari pikirannya tentang Ben.
Di saat gelap, hening, potret bahagia berseliweran di kepalanya. Tak ada yang ikut merasakan itu. Tak ada tempat berbagi. Gengsi dan harga diri begitu tinggi hingga berucap kecewa dan patah hati juga tak mampu lagi. Semua rasa itu telah ditelannya sendiri.
Ujungnya, seperti yang terlihat saat ini, tubuh Dira terbaring lemah tak berdaya. Tangan dan kaki bagai terpaku kuat pada kayu tempat tidur. Badan seperti diberi perekat yang sangat kuat, hingga tak bisa bergerak. Kepalanya bagai diberi pemberat. Sangat sulit menegakkannya. Hanya hatinya saja yang masih berfungsi dengan benar. Merasakan semua kekecewaan yang amat sangat. Tapi lidahnya terlalu kelu untuk berucap.
Makin hari badan Dira makin kecil karena tak satupun makanan yang berhasil lolos dari kerongkongan menuju perutnya. Tirus. Tulang-tulangnya menciut. Begitu banyak tanya dan kata yang mengisi kepalanya. Mulut merenggang, tapi tak sedikitpun suara yang keluar. Dira lumpuh.
Penyakit ini telah merenggut segalanya. Venilah orang pertama dan satu-satunya orang yang saat ini bisa memahaminya, menghabiskan waktu merawat dirinya. Veni meminta izin pada Dira untuk memberitahu Ayah dan Bunda. Tapi sorot mata Dira seolah memohon untuk tidak melakukannya. Ia tak mau Ayah dan Bunda menaruh rasa kasihan padanya. Dalam situasi seperti ini masih saja menjunjung prinsip harga dirinya. Begitu beratkah mengungkapkan rasa itu? Walaupun pada orang tua sendiri?
Daun-daun diterbangkan angin hingga beberapanya masuk melewati jendela kamar. Sepertinya ikut merasakan apa yang dirasakan Dira. Merasakan kebekuan yang sangat.
Hanya mata yang mampu bergerak. Tapi, Dira takut untuk menutupnya, walaupun hanya tidur sekejap. Ketakutan itu menjalari seluruh sudut hatinya. Ia takut ketika esok harus bangun lagi, mata itu tak bisa dibuka. Mata itu akan tertutup selamanya, sehingga dia tak mampu lagi melihat warna dunia dan tawa bahagia orang-orang yang menyayanginya.
Sebuah tangan mengusap kepalanya. Dira menggerakkan mata ke kanan. Lewat sudut matanya, tampak seorang wanita separo baya duduk di sisi tempat tidur. Wajah dingin yang begitu dikenalnya. Wajah yang dulu begitu riang tiap melihatnya pulang. Wajah yang selalu menunggu kedatangannya. Butiran bening meluncur di pipi Dira melihat Bunda menatapnya pilu. “Ternyata mengungkapkan kekecewaan itu susah, Bunda. Gengsi dan harga diri itu menguasai seluruh relung hatiku,” gumam Dira dalam hati. Sorot mata Dira berucap, “Maafkan Dira, Bunda.”

Padang, 5 Februari 2006

No comments: